KONSEP DESENTRALISASI DI INDONESIA
Oleh: M. SETIAWAN
Di dalam teori pemerintahan dikenal adanya dua model dalam formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara federal dibentuk berdasarkan satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara atau wilayah pendiri kemudian berganti status menjadi negara bagian. Atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.
Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda dengan negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan pada saat kemerdekaan oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara. Karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian wilayah-wilayah yang brsifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Diasumsikan bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daearah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-daerah otonom (Andi A. Mallarangeng & M. R. Rasyid, 1999).
Di negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin ada daerah yang bersifat staat. Konsekwensinya adalah timbul hubungan hukum antara pemerint pusat dan pemerintah daerah. Hubungan hukum antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, tergantung pada sistem yang digunakan dalam pengaturan hubungan tersebut. Secara teoritis, ada dua model sistem yang dapat digunakan, yakni model sistem sentralisasi dan model sistem desentralisasi. Kedua sistem tersebut hanyalah terbatas sebagai model, sebab di seluruh dunia dewasa ini tidak ada satu negara yang secara ekstrim pemerintahannya bersifat sentralisasi atau sebaliknya desentralisasi penuh (Muchsan, 1999).
Sistem sentralisasi menerapkan kekuasan yang terfokus pada pemerintahan pusat. Artinya semua kewenangan dan terkooptasi pada pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi terjadi penyerahan kewenangan pemerintahan pusat kepada daerah. Daerah yang mendapat mengatur rumah tangga daerahnya sendiri sehingga disebut sebagai daerah otonom.
Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itu sendiri dalam ilmu administrasi publik merupakan sebuah pendekatan dan teknik manajemen yang berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dan tanggung jawab (delegation of authority and responsibility) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut perubahan hubungan kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapat perbedaan pandangan antara para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsep desentralisasi, yakni:
1. Siendentopf (1987), desentralisasi adalah suatu istilah yang memiliki pengertian konotasi yang berbeda bagi masyarakat yang berbeda atau bagi masyarakat yang sama dalam konteks atau situasi yang berbeda;
2. Bird dan Vaillancort (2000), ada tiga varian desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang diambil daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintahan pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintahan daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implmentasi tetapi juga kewengan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah.
3. Davey (1983), Ichlasul dan Amal Nasikun (1989), dan Mills (1991), juga menggunakan istilah desentralisasi untuk pengertian yang luas. Menurut mereka istilah desentralisasi mencakup desentralisasi administratif maupun politik.
Desentralisasi administratif atau sering disebut dengan dekosentrasi adalah pelimpahan sebagian kekuasaan administratif kepada pejabat-pejabat birokrasi atau aparat pemerintah pusat yang ditempatkan di lapangan (wilayah). Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik untuk membuat keputusan atau kebijakan publik. Yang mereka memiliki hanya kewenangan administratif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Pejabat-pejabat di lapangan (field administrator) hanya bekerja atas dasar rencana dan anggaran yang ditentukan oleh pusat. Dalam dekosentrasi berarti redistribusi tanggung jawab administratif hanya di antara badan-badan perwakilan atau agen-agen pemerintah pusat. Karena dekosentrasi hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politik, maka dekosentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang lemah.
Desentralisasi politik atau devolusi berarti pendelegasian sebagian wewenang dan tanggung jawab membuat keputusan dan pengendalian atas sumber-sumber daya kepada intansi pemerintah regional atau daerah yang memiliki lembaga perwakilan dan memiliki kekuasaan pemerintahan. Disebutkan oleh Siedentopf (1987) bahwa devolusi memiliki beberapa karateristik dasar tertentu, yakni:
1. Pemerintah lokal bersifat otonom dan secara jelas merasa sebagai tingkatan yang terpisa dimana penggunaan kewenangan pusat atau tidak langsung;
2. Pemerintah lokal memiliki batas yang jelas dan diakusi secara sah dimana mereka memiliki kekuasaan dan menyelenggarakan fungsi-fungsi publik;
3. Pemerintah lokal berkedudukan sebagai badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan fungsinya;
4. Devolusi mengandung pengertian bahwa pemerintah setempat adalah institusi yang menyediakan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah setempat;
5. Dalam devolusi terdapat hubungan timbal balik saling menguntungkan dan koordinatif antara pemerintahan pusat dan pemerintahan setempat/lokal.
Dengan demikian, desentralisasi mencakup pemerintahan wilayah administratif dan pemerintahan daerah otonom. Dalam pemerintahan wilayah administratif ditandai dengan adanya aparat dan pejabat-pejabat birokrasi pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah sebagai field administrator. Aparat ini tidak memiliki kekuasaan politik. Yang mereka miliki hanyalah kewenangan administratif guna melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat pusat. Dalam daerah pemerintah daerah otonom ciri utamanya adalah memiliki lembaga perwakilan yang pada umumnya didasarkan atas dasar pemilihan dan memiliki kekuasaan pemerintahan tingkat daerah. Lembaga tersebut memiliki kewenangan politik untuk membuat kebijakan publik.
Desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia mengacu kepada pembentukan suatu area yang disebut daerah otonom yang akan merupakan tempat atau lingkup dimana kewenangan yang diserahkan dari pusat akan diatur, diurus, dan dilaksanakan. Daerah otonom tersebut berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Urusan-urusan tersebut mula-mula sebagai urusan pemerintah pusat, kemudian setelah diserahkan kepada daerah menjadi urusan daerah yang sifatnya otonom.
Pustaka
Andi A. Mallarangeng & M. R. Rasyid. 1999. Otonomi dan Federalisme. Dalam St. Sularto dan T Jakob Koekerits (penyunting). Federalisme untuk Indonesia. Kompas.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang: Tinjauan Umum, Terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Devey, Kenneth J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-prektek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Terjemahan Aminullah, dkk, Jakarta: UI Press.
Ichlasul Amal dan Nasikun. 1990. Desentralisasi dan Prospeknya: Pelajaran dari PPW dalam Pengalaman PPW dan Strategi Pembangunan Pedesaan di Indonesia. Yogyakrata: P3PK UGM.
Mills, Anne. 1991. Isu dan Konsep Desentralisasi dalam Anne Millis dkk. (editor). Desentralisasi Sistem Pelayanan Kesahatan, terjemahan Laksono Trisnantoro. Yogyakrata: Gadjah Mada Press.
Muchsan. 1999. Kajian Yuridis Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi yang Seluas-luasnya. Makalah Seminar Nasional. Otonomi Daerah dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis. Yogyakrta: FE UPN Veteran.
Siedentopf, Heinrich. 1987. Desentralization for Rural Development: Goverment Approaches and People’s Initiatives in Asia and The Pacific. Building from Below Local Initiatives for Decentralized Development in Asia and Pacific. Vol 1. Kuala Lumpur: Asian and Pacific Development Centre.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar