Sabtu, 21 Januari 2012

FAKTOR PENGHAMBAT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN KERUSAKAN LINGKUNGAN


A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Lingkungan secara umum memiliki arti segala sesuatu di luar individu dan mencakup segala hal di sekeliling kita.[1] Segala sesuatu di luar individu merupakan sistem yang kompleks yang dapat mempengaruhi satu sama lain.kondisi yang saling mempengaruhi ini membuat lingkungan selalu dinamis dan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan seberapa besar komponen lingkungan itu dapat mempengaruhi dengan kuat. Ada saatnya berubah menjadi baik dan adasaatnya berubah menjadi buruk. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh individu atau makhluk hidup lain dalam satu lingkungan.
Hal ini bukan tidak berdasar, karena sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa: “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Kesatuan ruang maksudnya semua yang disebutkan di atas berada dalam ruang/tempat yang sama dan bersama-sama membentuk satu sistem.[2] Jadi dalam kesatuan ruang itu masing-masing saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.
1
 
Ketika tangan manusia sudah menjamah segala apa yang ada di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung maka akan lahir lah apa yang namanya kebutuhan maupun keinginan yang saling beriringan. Karena bagaimanapun manusia tidak bisa menafikan dua aspek tersebut, apalagi bilamana dihubungan dengan aspek peningkatan ekonomi suatu masyarakat. Karena eksploitasi sumber daya alam yang hanya berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek etika dan sosial yang berkaitan dengan kelestarian serta kemampuan dan daya dukung sumber daya alam.
Banyak kasus terkait pencemaran lingkungan akibat pembangunan ekonomi dalam skla besar seperti kasus limbah beracun dan sebagainya. Bisa kita lihat kasus pencemaran Teluk Buyat. Sebuah kasus yang menjadi keprihatinan kita semua. Kasus dugaan mengenai tercemarnya Teluk Buyat yang mengakibatkan sejumlah warga disana menderita penyakit. Diduga bahwa pencemaran ini terjadi akibat limbah industri pertambangan.Dalam perkembangan kasusnya, ada kontroversi yang berkembang antara lain Menteri Negara Lingkungan Hidup yang menyatakan, bahwa air laut di Teluk Buyat tidak mengandung merkuri. Sementara itu, dari pemeriksaan terhadap sejumlah warga disana, justru menunjukkan bahwa kadar merkuri yang ada di tubuh mereka sangat tinggi.[3]
Contoh kasus lain adalah perubahan status fungsi hutan Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang menuai polemik di masyarakat. Kawasan TNGM seluas ± 6.410 Ha dinilai membatasi ruang dan akses masyarakat dari berbagai sisi seperti, ekonomi, sosial maupun ekspresi kulutural. Kasus-kasus serupa menguatkan pentupan akses masyarakat untuk sumber-sumber penghidupan, terlebih masyarakat tidak dilibatkan dalam pemetaan dan upaya pengalihfungsian yang dilakukan pemerintah. Hingga kini masyarakat masih mengeluhkan keberadaan TNGM yang membatasi upaya mereka dalam pencarian sumber penghidupan.[4]
Catatan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan mencatat telah terjadi 12 kasus lingkungan di 2010, antara lain kasus longsor di Jalan Pelayaran RT 10 pada Februari 2010 lalu yang menewaskan dua warga, BLH telah mengeluarkan rekomendasi pembongkaran dan pembuatan siring setinggi 100 meter. Kemudian kasus kebakaran lapisan tanah yang mengandung batu bara, BLH melakukan koordinasi dan monitoring rutin dengan instansi Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran (BPBK). Sedangkan kasus perizinan seperti pada kegiatan PT. Perkasa dan PT. Ciputra Bangun Mitra, mereka diharuskan menyelesaikan dokumen lingkungan dan kewajiban rehabilitasi lahan/penanaman rumput pada lahan yang mengarah ke Desa Bendali, Balikpapan, Kalimantan Timur.[5]
Melihat beberapa kasus di atas sangat diperlukan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sejak awal, bukan paska terjadinya kasus pencemaran lingkungan, yang justru dengan pendekatan birokratis sentris bahwa asas tanggung jawab negara lebih dikedepankan dibanding pengikutsertaan masyarakat luas akan menimbulkan dampak sistemik terjadinya kerusakan alam, yang pastinya tidak hanya akan merugikan masyarakat Indonesia sendiri, juga akan merugikan masyarakat Internasional.
Berdasarkan pola pikir pendayagunaan masyarakat secara aktif tersebut di atas, penulis melihat justur sebaliknya dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, peran serta atau partisipasi masyarakat masih kecil, justru dalam segala ketentuan di dalamnya lebih mengutamakan atau dapat dikatakan dominasi pemerintah (pusat dan daerah) dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, karena peran serta masyarakat ini sejatinya sudah dibahas dalam Konvensi PBB di Denmark pada 25 Juni 1998, yang menghasilkan 3 (tiga) pilar yang menjamin hak-hak rakyatdalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (to sustainable and environmentally sound development), yakni:
1.    Akses terhadap informasi (access to information);
2.    Peran serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making);
3.    Akses terhadap keadilan (access to justice).
Maka dalam paper yang berjudul “Faktor Penghambat Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Lingkungan (Kajian Substansi Hukum UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)” akan mengungkapkan minimnya peran serta masyarakat melalui pembahasan mengenai faktor penghambat serta berupaya mencari solusi yang tepat guna dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2.    Rumusan Masalah
Dalam penulisan paper ini, penulis membahas dua permasalahan, yakni:
a.    Apa faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan?
b.    Bagaimana solusi pendayagunaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?
 
B.  Pembahasan
1.         Faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan
Paradigma menjadikan sungai sebagai 'halaman depan' atau 'muka rumah' memang belum populer di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika selama ini masyarakat kita masih terbiasa untuk membuang sampah sekenanya ke sungai, karena dianggap sebagai 'halaman belakang' yang cenderung kurang dianggap penting. Fenomena ini sering kita temui di sungai-sungai yang membelah suatu kota, apalagi apabila di tepi sungai terdapat pemukiman penduduk. Padahal jika kita mengetahui potensi ekologis daerah tepi sungai di Indonesia (contoh: Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah) sebagai sumber bio-diversitas, maupun potensi ekonominya dari segi pariwisata (lihat saja daerah Clarke Quay di Singapura yang terletak di tepi Singapore River yang kini ramai menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pariwisata), hal ini tentu saja membutuhkan juga partisipasi masyarakat. 
Penggunaan konsep ‘go green’ yang menghiasi berbagai segi kehidupan saat ini, seperti berusaha selalu membawa tas plastik sendiri ketika berbelanja, memisahkan sampah organik dan non organik, tidak mencuci pakaian setiap hari, menggunakan air sehemat mungkin, menggunakan angkutan umum semaksimal mungkin, tidak makan daging impor, tinggal di rumah yang tidak terlalu besar, menanam sebanyak mungkin pohon di dekat rumah sehingga penggunaan AC dapat ditekan. Beberapa hal tersebut hanya lebih berkutat pada simbolik saja karena lemahnya partisipari masyarakat dalam penyusunan sebuah peraturan lingkungan hidup.
Menurut hemat penulis, ada 8 (delapan) faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan, yakni:
a.    Kewajiban asasi masyarakat yang pasif