Jumat, 23 Desember 2011

RESUME BUKU HUKUM KONSTITUSI

RESUME BUKU HUKUM KONSTITUSI
OLEH : M. SETIAWAN

BAB I TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTITUSI
A.      Sejarah pertumbuhan konstitusi
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu hak suatu faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Faham mengenai konstitusionalisme ini sendiri terdiri dari:
1.         Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2.         Jaminan dan hak perlindungan hak-hak asasi manusia;
3.         Peradilan yang bebas dan mandiri;
4.         Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Catatan terkait timbulnya konstitusi dimulai pada masa sejarah Yunani, pada masa kejayaannya telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum) antara tahun 624-404 SM, Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Kemudian pada masa Kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator.
Dilanjutkan pada abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser ke arah feodalisme, dan agak mundur ke belakang yakni pada abad VII (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah, yang dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.
Perjalanan sejarah berikutnya, yakni pada tahun 1789 meletus revolusi dalam Monarki Absolutisme di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara.
Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan konstitusi modern, baru muncul bersamaan dengan semakin berkembangnya “Sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”.
Konstitusi modern bisa merupakan jaminan bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia serta faham welfare state¸ sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstitusional. Sebagaimana disinyalir oleh Strong bahwa tujuan dari konstitusi modern adalah:  to secure social and progress, safeguard individual rights and promote national well-being”.

Sistem Pemerintahan Presidensil di Beberapa Negara


Paper “Sistem Pemerintahan Presidensil di Beberapa Negara”
Oleh: M. Setiawan

Pendahuluan
Pemerintah merupakan salah satu syarat pokok berdirinya suatu negara. Oleh karena itu, setiap Negara mutlak memiliki pemerintahan. Pemerintahan pada setiap hari negara akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut akhirnya memuculkan istilah sistem pemerintahan. Bagaimanakah pegertian sistem pemerintahan? Apa saja bentuknya? Simak uraian materi berikut.
Sistem pemerintahan berasal dari dua kata, yang sistem dan pemerintahan. Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional. Hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian. Jika salah satu bagian saja tidak bekerja dengan baik, sistem itu akan terganggu. Dengan kata lain, sistem tidak berjalan dengan baik jika ada bagian yang tidak berfungsi. Lalu, siapa yang dimaksud pemerintahan itu? Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah atau lembaga-lembaga negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jadi, pemerintah tidak diartikan sebagai lembaga yang hanya menjalanan tugas eksekutif.
Berdasarkan definisi tentang sistem dan pemerintahan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah bagian-bagian yang  harus berfungsi dengan baik pula. Jika salah satu saja dari lembaga-lembaga pemerintahan itu. Membicarakan sistem pemerintahan berarti membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu demi kepentingan rakyat.

Pembahasan
Pembeda utama antara sistem parlementer dengan sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem parlementer yang memegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Perdana menteri dengan kabinet pemerintahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen. Dalam konstruksi demikian, wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada di tangan parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi parlemen sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi parlemen akan menganut sistem parlementer. Salah satu konsekuensinya adalah tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dengan eksekutif. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen (Efriza, 2009: 271). Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat (Dasril Radjab, 2005: 68).
Dengan demikian dalam jabatan presiden juga terdapat unsur sebagai perwakilan rakyat, terutama untuk menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden karena pada prinsipnya semua jabatan-jabatan itu berada dalam satu organisasi, yaitu lembaga kepresidenan.
Dengan demikian dapat disebutkan beberapa ciri dari sistem pemerintahan yang menggunakan sistem presidensil (Sri Soemantri dalam Dasril Radjab, 2005: 68), yakni:
a.    Sistem presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik.
b.    Dalam sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu (namun tidak lebur) dalam satu figur, Presiden.
c.    Kepala Negara (KN) dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh Presiden. KN adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan.
d.   Kekuasaan pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan adalah presiden.
e.    Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. (Presiden dipilih rakyat bukan dipilih partai). Selaku kepala negara, Presiden adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau fungsionaris partai.
f.     Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem presidensial tidak dikenal istilah kabinet koalisi. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
g.    Parlemen (legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama, menterjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melainkan pada upaya mempertajam program). Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi.
h.    Peran partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah” (Bambang Cipto, 1996: 41).
Ada beberapa negara yang menggunakan sistem presidensil, yakni Brazil, Afrika Selatan, Perancis, dan lain-lain. dapati dijelaskan secara singkat berikut ini.
-       Sistem pemeritahan Brazil
1.    Brazil merupakan negara dengan bentuk federal.
2.    Bentuk pemeritahan Brazil adalah republik dan sistem pemerintahannya adalah presidensial.
3.    Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
4.    Kabinet diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

-       Sistem pemerintahan Afrika selatan
1.    Afrika selatan menrapkan sistem politik demokrasi anti-apartheid.
2.    Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
3.    Sistem pemerintahan adalah presidensial.
4.    Parlemen terdiri dari dua bagian, yaitu majelis nasional dan dewan nasional provinsi.

-       Sistem pemerintahan Prancis
1.    Bentuk negara adalah kesatuan.
2.    Bentuk pemerintahan dalah republik dengan sistem demokrasi presidendsial.
3.    Presiden adalah kepdala negara, dan perdana meneteri adalah kepala pemerintahan.
4.    Kabinet diangkat oleh presiden.
5.    Sistem perlemen menggunakan sistem bimakeral yang tediri atas senat dan majelis nasional.
  
Penutup
Sebagai penutup dari paper ini dapat disimpulkan bahwa dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen. Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat. Ada beberapa negara yang dapat disebutkan disini yang menggunakan sistem presidensil, yakni Brazil, Afrika Selatan, Perancis.

Pustaka
Efriza, 2009. Ilmu Politik: dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan (Ed 2). Bandung: Alfabeta.
Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

OTONOMI DAERAH

OTONOMI  DAERAH
OLEH: M. SETIAWAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan daerah (Michael Malley, 2001: 122-181) Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undangundang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia (Budi Agustono, 2005: 163).
Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari  masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan (Budi Agustono, 2005: 163).
Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku. Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.

1.2. Pokok Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.    Bagaimanakah perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi daerah dan pemekaran wilayah?
b.    Dampak apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?
c.    Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemekaran wilayah di negara Republik Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Otonomi daerah, peraturan, dan pelaksanaannya
a. Dasar hukum otonomi daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan pasal 18 ayat (6) UUD RI tahun 1945 yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut:
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

b. Pelaksanaan otonomi daerah di indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah (Budi Agustono, 2005: 164).
Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi (Budi Agustono, 2005: 164).
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusa belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (PERDA).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan (Budi Agustono, 2005: 169).
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga (Budi Agustono, 2005: 170).
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural (Kendra Clegg, 2005: 193).
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata (Kendra Clegg, 2005: 194).

2. Fenomena pemekaran wilayah
a. Dasar hukum pemekaran wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1).
Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut:
Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.17
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini:
a.    Kemampuan ekonomi.
b.    Potensi daerah.
c.    Sosial budaya.
d.   Sosial politik.
e.    Kependudukan.
f.     Luas daerah.
g.    Pertahanan.
h.    Keamanan.
i.      Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.



b. Pemekaran wilayah di Indonesia
Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang termasuk baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah setengah abad lebih usia negara ini, tahun 2000 lahir sebuah provinsi baru bernama Banten. Dahulu, wilayah Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000), pemerintah mengesahkan adanya provinsi baru itu pada 17 Oktober 2000. Selanjutnya, diikuti pula munculnya Provinsi Bangka Belitung dari Sumatera Selatan sebagai provinsi induknya, Provinsi Gorontalo (dari Sulawesi Utara), dan Kepulauan Riau (dari Riau) melalui undang-undang yang dibentuk pada tahun yang sama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, pemekaran provinsi terjadi di Maluku dan Papua.
Yang terbaru, seperti diketahui, sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan pada 4 Desember 2005 di Jakarta. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya. Menurut Tagore Abubakar, Ketua DPRD Bener Meriah yang menjadi tokoh pembentukan provinsi baru itu, pendirian wilayah baru tak dapat ditunda lagi meskipun belum didukung pemerintah pusat.
Pihaknya merasa pendapatan daerah yang dihasilkan tak sebanding dengan kesejahteraan warga di wilayahnya. Tidak maksimalnya perhatian Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh dianggap menjadi penyebab utama. Upaya mewujudkan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara sendiri sudah berlangsung lama. Rancangan undang-undang (RUU) pembentukannya pun sudah dibuat. Namun, RUU itu memang sama sekali belum disentuh DPR.
Restu dari Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf seperti yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pun belum mereka dapatkan (www.liputan6.com). Bahkan, dari sebuah penelitian, diketahui bahwa sebanyak 80,1% di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Karawang setuju terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Data ini diperoleh dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Publik Daerah (LP3D) pada 14 Januari sampai 24 Februari 2005. Dalam jajak pendapat tersebut, seribu responden dipilih secara acak untuk diminta menjawab sepuluh pertanyaan (www.tempointeraktif.com).
Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada responden, tiga di antaranya adalah sebagai berikut.
a.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
b.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan efektivitas koordinasi pemerintahan?
c.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan potensi pertambangan dalam peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)?
Berdasarkan hasil penelitian itu, pembentukan provinsi baru di wilayah tersebut dinilai sangat realistis dan sesuai dengan payung hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan syarat pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan. Dari kenyataan yang ada serta hasil dari berbagai penelitian seperti dicontohkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah, terutama pembentukan provinsi baru. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya, hal-hal tersebut adalah:
a.    kemampuan ekonomi;
b.    potensi daerah;
c.    sosial budaya;
d.   sosial politik;
e.    kependudukan;
f.     luas daerah;
g.    pertahanan;
h.    keamanan;
i.      dan faktor lain yang menunjang otonomi daerah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.    Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintahan daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran wilayah.
b.    Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
c.    Pemberlakuan sistem otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif.
d.   Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan sebagainya menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemekaran wilayah.

B. Saran
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan.





DAFTAR PUSTAKA
Dua Provinsi Baru di Aceh Dideklarasikan.” <www.liputan6.com/view/1,113592,1,0,1133,690100.html>. 7 Desember 2005.
Gunawan, Jamil. Ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal.Jakarta: LP3ES, 2005.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, No. 33 Tahun 2004, LN No. 126 tahun 2004, TLN No. 4438.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6 tahun 2005, LN No. 22 tahun 2005, TLN No. 4480.
Malley, Michael. “Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Editor Donald K. Emmerson. Jakarta: PT Gramedia, 2001. Hlm. 122-181.
“Poling: Publik Bogor, Bekasi, Karawang dan Depok Setuju Provinsi Baru.” <http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/09/brk,20050309-
50,id.html>. 9 Maret 2005.

KONSEP OTONOMI DAN KEWENANGAN DAERAH SERTA PERANGKAT DAERAH


KONSEP OTONOMI DAN KEWENANGAN DAERAH
SERTA PERANGKAT DAERAH

Oleh: M. SETIAWAN

Pendahuluan
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah melakukan pembahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil menyusun UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden. Dan diberlakukan pula UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini paling tidak ada dua alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani global (global conciousnes). Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut lahimya krisis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah.memancing fenomena disintegrasi.

Demokrasi dan Otonomi
1
 
Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran horisontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa: “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab di dalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama, untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty) kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya; ketiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
(Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.

Pembahasan
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Atau bahasa UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahah Daerah bahwa otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5).
Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan dalam pelaksanaan, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.

Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.
Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.

Dasar Hukum
Otonomi daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1.    Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2.    Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.    Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Diperbaharui lagi oleh UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dari beberapa dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.

Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas tentang otonomi daerah dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1.    Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan elaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3.    Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.

Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.32/2004, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1.    Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.    Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945.
3.    Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
4.    Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.
5.    Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.
6.    Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7.    Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8.    Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD RI Tahun 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

1. UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitik-beratkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.




2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.

3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.

5. UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.

6. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.

7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

8. UU No 32 Tahun 2004 yang diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
            Pada periode ini yang masih berlaku, menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945.

Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1.    Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan (yustisi), moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2.    Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3.    Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4.    Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5.    Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
6.    Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7.    Kewenangan Propinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8.    Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
· Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
· Pengaturan administratif;
· Pengaturan tata ruang;
· Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
· Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9.        Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.    Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11.    Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12.    Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Proses Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Diperbaharui lagi dengan UU No 32 Tahun 2004 yang selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1.    Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis
2.    Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi
3.    Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4.    Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5.    Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan


Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a.    Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik
b.    Peningkatan PAD
c.    Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d.   Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e.    Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).



Perangkat Daerah
            Perangkat daerah terbagi pada perangakat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
            Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.
            Sekretariat DPRD dipimpin oleh sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Provinsi. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.
            Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.
            Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.
            Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan PERDA Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh seorang Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan PERDA Kabupaten/Kota yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kesimpulan
Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur di wilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:
1.    Adanya dasar hukum yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi daerah.
2.    Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3.    Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4.    Kehidupan berpolitik. Diantaranya yaitu:
· Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat
· Kehidupan konstitusional Baik :
a.    Demokrasi
b.    Hukum
c.    Kepemimpinan nasional
d.   Fungsi lembaga tinggi negara
e.    Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5. Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
Perangkat daerah terbagi pada perangakat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretaris daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, Local Fiscal Policy”$2C Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FEUGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, BudgetAccountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan. and Provincial Economic Development Training”, Modul Pelatihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.