Jumat, 23 Desember 2011

Hubungan antar Kekuasaan Negara


Paper “Hubungan antar Kekuasaan Negara”
Oleh: M. Setiawan

Pendahuluan
Memahami soal kekuasaan, ingatan yang paling mudah dalam pikiran kita adalah adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa absolutely power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely. Pernyataan tersebut kiranya masih sangat relevan untuk membaca soal kekuasaan dalam situasi sekarang. Sejarah telah memberikan pelajaran kepada manusia bahwa kekuasaan negara yang tidak diatur dan dibatasi akan cenderung menjadi otoriter dan bahkan totaliter. Kekuasaan akan dibangun dan digunakan untuk mengabdi pada kepentingan penguasa, dan dalam perkembangannya cenderung untuk serakah dan mengasai segala-galanya.
Kesadaran manusia telah sampai pada keinginan untuk membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Hal demikian dapat dilihat dari perkembangan konsep negara. Konsep kontrak sosial (social contract) berkembang menjadi konsep negara penjaga malam (nachtwacherstaat) yang kemudian berkembang lagi menjadi negara kesejahteraan (welfarestate). Dalam perkembangan berikutnya hukum dipercaya sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan negara, yang oleh karena itu muncul konsep negara hukum (nomocracy).
Perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum adalah konsep negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir ini lebih memberikan jaminan akan adanya pemisahan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan benang merah checks and balances system dalam hubungan antara kekuasaan negara.

Pembahasan
Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam gagasan yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya. Yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial (Diana Halim Koentjoro, 2004: 29). Antara ketiga lembaga negara tersebut harus menjalin hubungan yang baik melalui sistem checks and balances dimana diharapkan akan mampu terwujud tata kelola pemerintahan yang baik.
Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law Dictionary, diartikan sebagai “arrangement of governmental powers whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brances.” Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.
Kata “checks” dalam checks and balances berarti “suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balance,” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani (http://gunawantauda.wordpress.com).
Munir Fuadi (dalam http://gunawantauda.wordpress.com), menjabarkan operasionalisasi dari teori checks and balances melalui cara-cara tertentu. Cara-cara ini adalah:
1.    Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan.
2.    Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan.
3.    Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap cabang pemerintahan lainnya.
4.    Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan yang satu terhadap yang lainnya.
5.    Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the last word) jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif.
Selain dilakukan di antara lembaga-lembaga negara, checks and balances juga dilakukan di internal lembaga negara. Di Internal Congress Amerika Serikat sebagai misal, House of Representatives-nya berbagi kewenangan dan saling kontrol dengan senat untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak saling menjegal, meskipun keduanya mempunyai hak untuk saling memveto dalam proses legislasi.

Penutup
Sebagai bagian akhir dari penulisan ini dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu.

Pustaka
Koentjoro, Diana Halim. 2004. Hukum Administrasi Negara. Bogor: Ghalia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar