Jumat, 23 Desember 2011

IMPLIKASI OTONOMI DAERAH


IMPLIKASI OTONOMI DAERAH
Oleh: M. SETIAWAN

Pendahuluan
Krisis multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada kita semua akan pentingnya menggagas kembali konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.[1]
Selama masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah.
Kritik yang muncul selama orde baru adalah Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam telah dikembangkan Pemerintah Pusat hingga mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintah Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang diberikan kepada Daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Dampak dari sistem yang selama masa orde baru kita anut menyebabkan Pemerintah Daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat, karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan arahan dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat melakukan campur tangan terhadap Daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di Daerah. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas[2] dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
            Berkaca kepada langkah otonomi daerah pada masa kini maka penulisan makalah yang berjudul “Implikasi Otonomi Daerah” dalam ranah politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum berguna untuk melihat substantif, perkiraan ke depan dan perumusan tindakan dari otonomi daerah dalam kerangka perundang-undangan yang ada yakni dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pembahasan
Implikasi Otonomi Daerah di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32 Tahun 2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan implikasi ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui implikasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum.

Implikasi politik dari Otonomi Daerah
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah.[3] Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Daerah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal

Implikasi ekonomi dari Otonomi Daerah
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global. Bahkan kalau ditelaah lebih lanjut, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lalu, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 2002).
Sebagai contoh dalam bidang pariwisata yang merupakan sektor riil pemasukan daerah. Seperti telah disinggung di muka, pelaksanaan otonomi yang diatur dalam UU 32 Tahun 2004, diyakini akan mendorong daerah untuk lebih bersikap mandiri karena memiliki kewenangan penuh untuk mengurus dan mengontrol daerahnya sendiri. Kemandirian tersebut, bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih baik, termasuk pengelolaan pariwisata daerah yang lebih profesional dan mengena. Dengan adanya otonomi, maka otomatis daerah akan lebih kreatif dalam menggali penerimaan daerahnya. Dampaknya terhadap pariwisata adalah adanya kesungguhan dalam mengkaii dan melestarikan objek-objek wisata, karena objek itu menjadi sumber pendapatan penting bagi daerah. Kemandirian ini juga diharapkan akan memacu kemandirian dalam bidang promosi wisata.

Implikasi sosial budaya dari Otonomi Daerah
Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.

Implikasi hukum dari Otonomi Daerah

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
·  Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
·  Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
·  Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penutup

Daftar Pustaka
Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. http://www.ekono mi rakyat.org/edisi_4/artikel_3.htm
Solly Lubis, 2003. Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, unpublished.



[1] Lihat Konsideran Menimbang Bagian a dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi: “bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
[2] Satu kalimat sloganis-retorikal yang sampai sekarang masih tetap kabur pengertiannya, ialah “Pusat itu adalah pusatnya Daerah dan Dearah-Daerah itu adalah Daerahnya Pusat”. Slogan ini dikembang-kembangkan di masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah yang mengandalkan prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Namun yang terjadi ialah Pemerintahan (Pusat). terus-menerus mengeksploitir semua sumberdaya di daerah di bawah satu sistem kekuasaan yangi oligarkhis-cronyis, sehingga negara ini bergeser kepada mode: monarchie dan oligarchie secara terselubung (Vencopte monarehieen oligarehie). Lihat Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Juli 2003.
[3] Lihat Pasal 2 angka 4 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi: “Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.

1 komentar:

  1. Terima kasih informasinya pak. Dan juga ada hal yang ingin saya tanyakan pada poin implikasi politik dari otonomi daerah belum selesai penjelasannya karena Pasal nya belum di sebutkan dan penjelasan mengenai segi negatif dari adanya implikasi otonomi daerah belum dijelaskan. Terima kasih sekali lagi pak.

    BalasHapus