Sabtu, 01 Oktober 2011

KONSEKUENSI PENGAKUAN KEDAULATAN RAKYAT, KEDAULATAN HUKUM, DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM UUD RI TAHUN 1945 PADA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


Penulis: M. Setiawan, SHi., SH

Pendahuluan
1
 
Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom), tanpa intervensi negara mana pun. Indonesia melalui konstitusi yang sudah ada sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, selalu membicarakan kedaulatan, baik kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, maupun kedaulatan negara. Dalam catatan sejarah Indonesia mengalamai berbagai level sebuah kedaulatan[1], pernah mengalami masa di mana praktek kenegaraan digoncang habis-habisan hingga hampir luluh lantah oleh penjajah Belanda, hingga harus mengikutkan diri dalam konsep penjajah pada tahun 1949 menjadi negara federal. Namun semangat juang rakyat pada saat itu demi memperjuangkan kemerdekaan, maka 7 bulan setelah itu dikembalikan bentuk negara menjadi negara kesatuan, bhineka tunggal ika.[2]
Integrasi bangsa untuk menuju ke arah kemerdekaan bukan merupakan hasil rekayasa dan bantuan serta rasa ‘iba’ dari penajajah, namun merupakan bentuk perjuangan yang menganggap kemerdekaan dan kebebasan rakyat dan bangsa adalah hak paling esensial dan fundamental bagi umat manusia. Posisinya sederajat dengan nilai-nilai universal lainnya seperti kemanusian (humanisme) dan keadilan. Hak tersebut juga berlaku bagi bangsa Indonesia, namun karena sering dilanggar bangsa lain, bangsa Indonesia harus berjuang keras mewujudkan hak tersebut. Keberhasilan mewujudkan hak kebebasan dan kemerdekaan ditandai oleh pernyataan kemerdekaan.[3]
Karena misi utama perjuangan kemerdekaan adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai kebebasan bagi rakyat dan bangsa, maka negara yang telah diperjuangkan itu seharusnya berkomitmen mewujudkan nilai-nilai tersebut. Karena itu, mengutip alinea kedua Pembukaan UUD 1945 : “...negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur” harus dijaga dan dilestarikan terus menerus. Sudah menjadi kewajiban negara Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 untuk selalu menjaga kemerdekaan dan kebebasannya. Kemerdekaan memiliki makna bila bangsa ini mandiri dan menentukan sikap dalam mengejar tujuan-tujuan  negara. Kemandirian bangsa atau ‘berdaulat’ sebagai terjemahan makna kemerdekaan, adalah pesan penting yang harus selalu ditanamkan dan ditegakkan, khususnya dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia.[4]
Untuk itu dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai konsekuensi[5] pengakuan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia, hal yang dibahas di dalam makalah ini berupa permasalahan berikut:
1.    Apa landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia?
2.    Siapa yang memegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia?
3.    Bagaimana praktek ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam hal pemerintahan?
Pembahasan
A.  Landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia
Secara ringkas dapat disebutkan dalam bentuk tabel di bawah ini terkait Landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia, yakni:
Kedaulatan Negara
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Hukum
Terdapat pada alinea ke-2 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada alinea ke-3 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada alinea ke-4 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada Pasal 1 (3)
Terdapat pada Pasal 1 (2)
Terdapat pada Pasal 1 (3)

Bahwa kedaulatan negara bisa dilihat dalam alinea ke-2 pembukaan UUD RI Tahun 1945, sebagaimana dinyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Penulis mengambil ketentuan dari alinea kedua UUD RI Tahun 1945, bahwa ada kalimat “negara Indonesia yang merdeka...”. Di sini dapat dikatakan bahwa kedaulatan menjadi cita-cita bangsa untuk tidak diatur dan dikuasai oleh negara lain. Karena makna dari kedaulatan negara merupakan Kedaulatan yang asalnya dari negara itu sendiri yakni dalam wilayah suatu negara hanya negara itu yang berdaulat penuh. Negara mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Artinya negara berhak mengatur semua warga negara dan harus taat, patuh terhadap kehendak dan keinginan Negara. Tidak ada seorang yang berhak menentang kehendak negara. Sehingga kekuasaan negara tidak ada yang membatasinya. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi yang berasal dari negara itu sendiri.[6]
Dan juga diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang dinyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Di sini bahwa Indonesia selain memiliki kedaulatan sebagai negara, juga memiliki kedaulatan berdasarkan hukum yang berlaku di dalamnya. Artinya bangsa manapun yang ingin masuk ke Indonesia harus mematuhi segala aturan yang berlaku di dalamnya. Sebagai contoh adalah WNA yang ingin menjadi WNI harus tunduk dan patuh dalam aturan main bangsa Indonesia.[7]
Bahwa kedaulatan rakyat bisa dilihat dalam alinea ketiga pembukaan UUD RI Tahun 1945, sebagaimana dinyatakan: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kebebasan dan kemerdekaan rakyat menjadi hal yang penting guna menuju arah kesejahteraan rakyat sendiri. Karena konsep kedaulatan rakyat artinya kekusaan tertinggi di tangan rakyat.[8] Rakyat memberikan kekuasaan kepada para wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti pemerintahan yang dipilih dan diangkatnya[9] bila pemerintah tersebut tidak melaksanakan kehendak rakyat. Dewasa ini praktik teori kedaulatan rakyat banyak dianut dan dijalankan oleh negara-negara demokrasi modern. Termasuk negara Republik Indonesia.[10]
Dan juga diatur dalam pada Pasal 1 (2) UUD RI yang dinyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam hal ini dapat digarisbawahi bahwa di Indonesia, rakyat merupakan pemilik kekuasaan sesungguhnya. Karena fakta yang terjadi sebagaimana dicontohkan dalam praktek ketatanegaraan bahwa pada Tahun 1998 terjadi reformasi yang mengatasnamakan rakyat untuk memperjuangkan dan menjatuhkan pemerintahan yang otoriter.[11]
Kedaulatan yang juga menjadi landasaan idiil dari konstitusi di Indonesia adalah kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum yaitu kedaulatan yang berasal dari hukum yang berlaku di suatu negara. Hukum yaitu pernyataan yang timbul dari kesadaran manusia, dan hukum merupakan sumber kedaulatan. Negara harus mematuhi tertib hukum, karena hukum terletak di atas negara. Hukum merupakan kekuasaan yang derajatnya lebih tinggi. Negara hanya sebagai organisasi sosial yang tunduk kepada hukum. Kekuasaan negara harus berpijak dan berlandaskan hukum (asas legalitas[12]). Hukum harus dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan dalam negara maksudnya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah itu didapat atau diatur oleh hukum yang berlaku di negara itu, sehingga kekuasaan itu sah berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus dijunjung tinggi oleh segenap warga negara dan pemerintah, maka semuanya harus menghormati dan mematuhi hukum yang berlaku. Barang siapa yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi, tanpa kecuali.[13]
Kedaulatan hukum bisa dilihat dalam alinea keempat UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”, dan juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
B.  Pememegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia
Secara ringkas dapat disebutkan dalam bentuk tabel di bawah ini terkait pememegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni:
Kedaulatan Negara
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Hukum
Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 (1), 10, 11 (1-2), 12, 13 (1), 17 (1-2), 20 (2-3), 22E (1), 25A, 24A (3), 24C (3), 30 (1), 32 (1-2), 33 (2-3), 35, 36A, 36B, 36C, 37 (5).
MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 3 (1), 7A, serta Pasal 37 (1-4).
MA sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (1), 15 (1) 24 (2), 24A (1).

Rakyat pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 6A (1), 23 (1), 28A – 29 (2),  31 (1-5), serta Pasal 33 (1 dan 4).
KY sebagaimana diatur dalam Pasal 24B (1)

DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C, 11 (1-2), 13 (2), 14 (2), 18A (1), 20 (1), 20A (3), 22, (2-3), 23 (1), 23 (2-3), 24A (3), dan Pasal 24 (3).
MK sebagaimana diatur dalam Pasal 24C (1-3)

Konsep modern tentang kedaulatan, pertama kali mengemuka pada akhir abad ke enam belas, sebagai tanggapan atas fenomena kemunculan negara teritorial. Gagasan teoritik tentang kedaulatan pada mulanya dikemukakan oleh Jean Bodin, salah seorang pemikir renaissance asal Prancis, pada 1576, melalui karangannya, “Les Six Livres de la Republique.” Bodin menafsirkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat- rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang. Dari penafsiran terlihat jelas, bahwa kemunculan konsepsi kedaulatan adalah berangkat dari fakta politik yang mendasar saat itu, yaitu lahirnya negara. Tentang negara, Bodin banyak merujuk pendapat Aristoteles, ia memaknai negara sebagai keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal budi seorang penguasa yang berdaulat. Negara berbeda dengan masyarakat lainnya, karena adanya summa potestas (kekuasaan tertinggi). Menurut Bodin, salah satu aspek kedaulatan ialah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, karenanya Bodin kemudian menyamakan antara undang-undang dengan hukum. Pemikiran Bodin ini selanjutnya diperkuat oleh Thomas Hobbes.[14]
Melihat ketatanegaraan di Indonesia, kedaulatan yang ada dalam konstitusi yakni ada tiga: 1. Kedaulatan negara yang dipegang oleh Presiden sebagai simbol dari negara; 2. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR, DPR, rakyat pada umumnya; serta 3. Kedaulatan hukum pada prakteknya dipegang oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 4 (1) UUD RI Tahun 1945 mengurusi urusan kedaulatan negara keluar. Bahwa presiden melalui seluruh kekuasaannya di bidang Angkatan Darat, Laut, dan Udara (Pasal 10) berkewajiban menjaga wilayah negara (Pasal 25A), juga memiliki kewenangan untuk menyatakan perang dengan negara lain (Pasal 11 ayat 1),  membuat perjanjian internasional (Pasal 11 ayat 2), serta memiliki kewenangan dalam pengangkatan duta dan konsul (Pasal 13 ayat 1).
Kedaulatan negara dikokohkan dengan kedaulatan rakyat yang dalam konstitusi diatur adanya lembaga perwakilan seperti MPR dan juga di dalamnya termasuk DPR. Bahwa MPR berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD RI (konstitusi), artinya secara kelembagaan rakyat-lah yang berwenang dalam pengurusan kenegaraan. Bilamana rakyat sudah tidak menginginkan konstitusi yang sedang berlaku sesuai kondisi seperti tahun 1950 peralihan dari negara federal menjadi negara kesatuan, maka perubahan menjadi pilihan yang final.
Berbicara kondisi paska amandemen UUD RI Tahun 1945, bahwa rakyat pemegang kekuaasan dalam negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Jadi percaturan ketatanegaraan dipegang oleh rakyat melalui perwakilannya di MPR dan DPR.[15]
Selanjutnya kedaulatan hukum yang dalam konstitusi sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang hukum di Indonesia adalah Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1), 24B ayat (1), dan Pasal 24C ayat (1) UUD RI Tahun 1945.
Artinya di sini bahwa hukum secara kelembagaan ada pemegang kekuasaannya, agar tidak terjadi kekosongan dan bisa terjadi kewenangan mutlak dari lembaga lain yang secara teori demokrasi harus dilakukan pemisahan/pembagian kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

C.  Praktek ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam hal sistem presidensiil
Pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar presidensiil. Hal ini dapat teridentifikasi dengan mudah setelah Presiden dan Wakil presiden dipilih langsung oleh Rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil adalah baik eksekutif maupun legislatif dipilih langsung oleh rakyat dan antara keduanya tidak ada hubungan pertanggungjawaban. Dan hal ini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dimanifestasikan dalam praktek ketatanegaran Indonesia.
Ciri utama yang lain dari sistem pemerintahan Presidensiil adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, melainkan langsung kepada rakyat pemilih, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui badan pemilih (electoral college) seperti di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan sistem pemerintahan ini, amandemen UUD 1945 sudah cukup baik mengadopsi ciri-ciri sistem pemerintah Presidensiil yang semakin menguat jaring-jaringnya yang akan menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditandai dengan adanya klausula pemilihan Presiden (dan Wapres) secara langsung oleh rakyat. Presiden tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Apapun perbedaan pandangan antara Presiden dan MPR, Presiden akan tetap sampai habis masa jabatannya. Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adalah melalui pranata “impeachment”. Tetapi dasar “impeachment” itu terbatas, baik secara substansial maupun prosedural tidak mudah dilaksanakan. Impeachment hanya dapat dilakukan apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah cukup baik menentukan jaring-jaring yang menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk kemungkinan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah dilakukan. Menurut analisa penulis bahwa stabilitas penyelenggaraan pemerintahan serta lebih membuat jalan yang tidak mudah dalam impeachment merupakan salah satu ciri dari kedaulatan negara. Hal ini karena beberapa hal, yakni:
1.    Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilihnya;
2.    Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara merupakan simbol dari tegak dan bangunnya sebuah pemerintahan;
3.    Bahwa paska amandemen UUD RI Tahun 1945 tidak ada lagi lembaga tertinggi negara (dulu MPR) yang bisa dengan mudah memberhentikan presiden. Yang ada adalah lembag tinggi negara, semua lembaga negara dalam prinsip check and balances.
Menurut I Gde Pantja Astawa (2004), masih sangat disayangkan bila mekanisme ataupun prosedur impeachment untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya yang apabila memenuhi ketentuan pasal 7A, menjadi lain bila dihadapkan dengan ketentuan pasal 7B, terutama pada ayat (7) perubahan ketiga UUD 1945. Artinya, jika oleh Mahkamah konstitusi diputuskan bahwa Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A, apa reasoning-nya kemudian MPR (masih) memberi kesempatan kepada Presiden untuk menyampaikan penyelasan dalam rapat paripurna MPR. Jika itu yang terjadi, ada kemungkinan Presiden tidak diberhentikan oleh MPR meskipin Mahkamah Konstitusi sudah (jelas-jelas) memutuskan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A. Memang MPR adalah institusi/badan politik yang memiliki wewenang untuk memberhentikan ataupun tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Sebagai badan politik, tentu saja pertimbangan-pertimbangan MPR dalam mengambil keputusan (memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya) lebih diwarnai oleh nuansa politis, sungguhpun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan presiden bersalah secara hukum. Persoalannya kemudian bukan terletak pada keberadaan MPR itu sebagai institusi politik, melainkan lebih terletak pada komitmen MPR itu sendiri untuk menghormati proses hukum sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dalam kerangka supremasi hukum. Dalam konteks ini, tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A. Sebab, jika tidak, untuk apa dan apa gunanya Presiden diusulkan untuk diadili ke Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan apa pula gunanya putusan MK yang menyatakan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasa 7A bila MPR kemudian tidak memberhentikan Presiden dengan alasan dan pertimbangan politik? Hak itu sama saja hendak menegaskan bahwa hukum (akan selalu) tunduk pada kekuasan dan bukan sebaliknya sebagai perwujudan prinsip supremasi Hukum di Indonesia. Hal ini karena supremasi hukum merupakan manifetasi dari kedaulatan hukum yang mengharuskan negara untuk mematuhi tertib hukum, karena hukum terletak di atas negara. Hukum merupakan kekuasaan yang derajatnya lebih tinggi. Negara hanya sebagai organisasi sosial yang tunduk kepada hukum, dan kekuasaan negara harus berpijak dan berlandaskan hukum.

Penutup
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis memberikan beberapa kesimpulan, yakni:
1.    Bahwa UUD RI merupakan aturan tertinggi dalam ketatangeraan Indonesia, mencakup di dalamnya tiga jenis kedaulatan yang menyatu seperti kedaulatan negara dalam alinea kedua pembukaan serta Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945, kedaulatan rakyat yang diatur dalam alinea ketiga serta Pasal 1 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, dan Kedaulatan hukum yang diatur dalam alinea keempat pembukaan serta Pasal 1 ayat (2) UUD RI Tahun 1945.
2.    Bahwa pemegang kekuasaan di Negara Indonesia dibagi menjadi 3 yakni kekuasaan dalam hal kenegaraan dipegang oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang mempunyai fungsi legislatif, serta MA dan MK yang merupakan perwujudan secara kelembagaan dari kedaulatan hukum, yang merupakan pemegang kekuasaan yudikatif.
3.    Bahwa pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar presidensiil dan tidak mudah untuk diimpeachment/diberhentikan bilamana belum mencukupi syarat dalam Pasal 7A, sebaliknya bila mencukup syarat maka presiden dapat diberhentikan yang artinya bahwa kedaulatan negara masih tunduk kepada kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.








Pustaka
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945: yang Sudah diamandemen. Surabaya: Appolo.
Ali, As’ad Said . 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Molejatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Purnomo, Bambang. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Schmid, J. Von. 1962. Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum. Jakarta: PT. Pembangunan.
Setyani, Turita Indah. 2009. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa. Dalam www.staff.ui.ac.id. 

Website:
www.id.answers.yahoo.com. Akses 14 Juli 2011.
www.wahyudidjafar.wordpress.com. Akses 14 juli 2011.



[1] Istilah kedaulatan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat-rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang.. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus. Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkataan sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan Souvereneteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. Jadi secara umum, kedaulatan atau sovereignity itu diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai wewenang untuk mengatur penyelenggaraan negara. Lihat J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hal. 140-143.
[2] Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular: Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,  bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.
Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa). Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat ―Berbeda-beda tetapi tetap satu‖. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. Lihat Turita Indah Setyani, Bhinneka Tunggal Ika sebagai  Pembentuk Jati Diri Bangsa. Dalam www.staff.ui.ac.id. (2009: 2-3).
[3] Lihat As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009). hal. 103.
[4] Ibid, hal. 103.
[5] Konsekuensi adalah akibat akhir dari sebuah pengambilan keputusan, dengan beberapa ketentuan tertentu, seperti akibat buruk/ baik berdampak pada apa, siapa, kelanjutannya bagaimana yang bersifat kompleks (menyeluruh). Lihat www.id.answers.yahoo.com. Akses 14 Juli 2011.
[6] Lihat http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[7] Lihat Pasal 26 ayat (1) UUD RI tahun 1945.
[8] Rakyat (Inggris:Peoples) adalah bagian dari suatu negara atau elemen penting dari suatu pemerintahan. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi sama dan tinggal di daerah/pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu untuk membela negaranya bila diperlukan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Rakyat. Akses 14 Juli 2011.
[9] Lihat Pasal 22 E ayat (2) UUD RI tahun 1945.
[10] Op. Cit. http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[11] Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia. Akses 14 Juli 2011.
[12] Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Lihat Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 25. Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian: 1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang. 2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:. Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760). Lihat Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 68-69.
[13] Op. Cit. http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[14] Lihat http://wahyudidjafar.wordpress.com. Akses 14 juli 2011.
[15] Lihat Pasal 2 ayat (1) UUD RI Tahun 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar