Sabtu, 21 Januari 2012

FAKTOR PENGHAMBAT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN KERUSAKAN LINGKUNGAN


A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Lingkungan secara umum memiliki arti segala sesuatu di luar individu dan mencakup segala hal di sekeliling kita.[1] Segala sesuatu di luar individu merupakan sistem yang kompleks yang dapat mempengaruhi satu sama lain.kondisi yang saling mempengaruhi ini membuat lingkungan selalu dinamis dan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan seberapa besar komponen lingkungan itu dapat mempengaruhi dengan kuat. Ada saatnya berubah menjadi baik dan adasaatnya berubah menjadi buruk. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh individu atau makhluk hidup lain dalam satu lingkungan.
Hal ini bukan tidak berdasar, karena sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa: “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Kesatuan ruang maksudnya semua yang disebutkan di atas berada dalam ruang/tempat yang sama dan bersama-sama membentuk satu sistem.[2] Jadi dalam kesatuan ruang itu masing-masing saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.
1
 
Ketika tangan manusia sudah menjamah segala apa yang ada di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung maka akan lahir lah apa yang namanya kebutuhan maupun keinginan yang saling beriringan. Karena bagaimanapun manusia tidak bisa menafikan dua aspek tersebut, apalagi bilamana dihubungan dengan aspek peningkatan ekonomi suatu masyarakat. Karena eksploitasi sumber daya alam yang hanya berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek etika dan sosial yang berkaitan dengan kelestarian serta kemampuan dan daya dukung sumber daya alam.
Banyak kasus terkait pencemaran lingkungan akibat pembangunan ekonomi dalam skla besar seperti kasus limbah beracun dan sebagainya. Bisa kita lihat kasus pencemaran Teluk Buyat. Sebuah kasus yang menjadi keprihatinan kita semua. Kasus dugaan mengenai tercemarnya Teluk Buyat yang mengakibatkan sejumlah warga disana menderita penyakit. Diduga bahwa pencemaran ini terjadi akibat limbah industri pertambangan.Dalam perkembangan kasusnya, ada kontroversi yang berkembang antara lain Menteri Negara Lingkungan Hidup yang menyatakan, bahwa air laut di Teluk Buyat tidak mengandung merkuri. Sementara itu, dari pemeriksaan terhadap sejumlah warga disana, justru menunjukkan bahwa kadar merkuri yang ada di tubuh mereka sangat tinggi.[3]
Contoh kasus lain adalah perubahan status fungsi hutan Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang menuai polemik di masyarakat. Kawasan TNGM seluas ± 6.410 Ha dinilai membatasi ruang dan akses masyarakat dari berbagai sisi seperti, ekonomi, sosial maupun ekspresi kulutural. Kasus-kasus serupa menguatkan pentupan akses masyarakat untuk sumber-sumber penghidupan, terlebih masyarakat tidak dilibatkan dalam pemetaan dan upaya pengalihfungsian yang dilakukan pemerintah. Hingga kini masyarakat masih mengeluhkan keberadaan TNGM yang membatasi upaya mereka dalam pencarian sumber penghidupan.[4]
Catatan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan mencatat telah terjadi 12 kasus lingkungan di 2010, antara lain kasus longsor di Jalan Pelayaran RT 10 pada Februari 2010 lalu yang menewaskan dua warga, BLH telah mengeluarkan rekomendasi pembongkaran dan pembuatan siring setinggi 100 meter. Kemudian kasus kebakaran lapisan tanah yang mengandung batu bara, BLH melakukan koordinasi dan monitoring rutin dengan instansi Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran (BPBK). Sedangkan kasus perizinan seperti pada kegiatan PT. Perkasa dan PT. Ciputra Bangun Mitra, mereka diharuskan menyelesaikan dokumen lingkungan dan kewajiban rehabilitasi lahan/penanaman rumput pada lahan yang mengarah ke Desa Bendali, Balikpapan, Kalimantan Timur.[5]
Melihat beberapa kasus di atas sangat diperlukan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sejak awal, bukan paska terjadinya kasus pencemaran lingkungan, yang justru dengan pendekatan birokratis sentris bahwa asas tanggung jawab negara lebih dikedepankan dibanding pengikutsertaan masyarakat luas akan menimbulkan dampak sistemik terjadinya kerusakan alam, yang pastinya tidak hanya akan merugikan masyarakat Indonesia sendiri, juga akan merugikan masyarakat Internasional.
Berdasarkan pola pikir pendayagunaan masyarakat secara aktif tersebut di atas, penulis melihat justur sebaliknya dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, peran serta atau partisipasi masyarakat masih kecil, justru dalam segala ketentuan di dalamnya lebih mengutamakan atau dapat dikatakan dominasi pemerintah (pusat dan daerah) dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, karena peran serta masyarakat ini sejatinya sudah dibahas dalam Konvensi PBB di Denmark pada 25 Juni 1998, yang menghasilkan 3 (tiga) pilar yang menjamin hak-hak rakyatdalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (to sustainable and environmentally sound development), yakni:
1.    Akses terhadap informasi (access to information);
2.    Peran serta dalam pengambilan keputusan (public participation in decision making);
3.    Akses terhadap keadilan (access to justice).
Maka dalam paper yang berjudul “Faktor Penghambat Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Lingkungan (Kajian Substansi Hukum UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)” akan mengungkapkan minimnya peran serta masyarakat melalui pembahasan mengenai faktor penghambat serta berupaya mencari solusi yang tepat guna dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2.    Rumusan Masalah
Dalam penulisan paper ini, penulis membahas dua permasalahan, yakni:
a.    Apa faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan?
b.    Bagaimana solusi pendayagunaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?
 
B.  Pembahasan
1.         Faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan
Paradigma menjadikan sungai sebagai 'halaman depan' atau 'muka rumah' memang belum populer di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika selama ini masyarakat kita masih terbiasa untuk membuang sampah sekenanya ke sungai, karena dianggap sebagai 'halaman belakang' yang cenderung kurang dianggap penting. Fenomena ini sering kita temui di sungai-sungai yang membelah suatu kota, apalagi apabila di tepi sungai terdapat pemukiman penduduk. Padahal jika kita mengetahui potensi ekologis daerah tepi sungai di Indonesia (contoh: Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah) sebagai sumber bio-diversitas, maupun potensi ekonominya dari segi pariwisata (lihat saja daerah Clarke Quay di Singapura yang terletak di tepi Singapore River yang kini ramai menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pariwisata), hal ini tentu saja membutuhkan juga partisipasi masyarakat. 
Penggunaan konsep ‘go green’ yang menghiasi berbagai segi kehidupan saat ini, seperti berusaha selalu membawa tas plastik sendiri ketika berbelanja, memisahkan sampah organik dan non organik, tidak mencuci pakaian setiap hari, menggunakan air sehemat mungkin, menggunakan angkutan umum semaksimal mungkin, tidak makan daging impor, tinggal di rumah yang tidak terlalu besar, menanam sebanyak mungkin pohon di dekat rumah sehingga penggunaan AC dapat ditekan. Beberapa hal tersebut hanya lebih berkutat pada simbolik saja karena lemahnya partisipari masyarakat dalam penyusunan sebuah peraturan lingkungan hidup.
Menurut hemat penulis, ada 8 (delapan) faktor penghambat peran serta masyarakat dalam pencegahan kerusakan lingkungan, yakni:
a.    Kewajiban asasi masyarakat yang pasif

Jumat, 23 Desember 2011

RESUME BUKU HUKUM KONSTITUSI

RESUME BUKU HUKUM KONSTITUSI
OLEH : M. SETIAWAN

BAB I TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTITUSI
A.      Sejarah pertumbuhan konstitusi
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu hak suatu faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Faham mengenai konstitusionalisme ini sendiri terdiri dari:
1.         Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2.         Jaminan dan hak perlindungan hak-hak asasi manusia;
3.         Peradilan yang bebas dan mandiri;
4.         Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Catatan terkait timbulnya konstitusi dimulai pada masa sejarah Yunani, pada masa kejayaannya telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum) antara tahun 624-404 SM, Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Kemudian pada masa Kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator.
Dilanjutkan pada abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser ke arah feodalisme, dan agak mundur ke belakang yakni pada abad VII (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah, yang dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.
Perjalanan sejarah berikutnya, yakni pada tahun 1789 meletus revolusi dalam Monarki Absolutisme di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara.
Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan konstitusi modern, baru muncul bersamaan dengan semakin berkembangnya “Sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme”.
Konstitusi modern bisa merupakan jaminan bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia serta faham welfare state¸ sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstitusional. Sebagaimana disinyalir oleh Strong bahwa tujuan dari konstitusi modern adalah:  to secure social and progress, safeguard individual rights and promote national well-being”.

Sistem Pemerintahan Presidensil di Beberapa Negara


Paper “Sistem Pemerintahan Presidensil di Beberapa Negara”
Oleh: M. Setiawan

Pendahuluan
Pemerintah merupakan salah satu syarat pokok berdirinya suatu negara. Oleh karena itu, setiap Negara mutlak memiliki pemerintahan. Pemerintahan pada setiap hari negara akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut akhirnya memuculkan istilah sistem pemerintahan. Bagaimanakah pegertian sistem pemerintahan? Apa saja bentuknya? Simak uraian materi berikut.
Sistem pemerintahan berasal dari dua kata, yang sistem dan pemerintahan. Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional. Hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian. Jika salah satu bagian saja tidak bekerja dengan baik, sistem itu akan terganggu. Dengan kata lain, sistem tidak berjalan dengan baik jika ada bagian yang tidak berfungsi. Lalu, siapa yang dimaksud pemerintahan itu? Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah atau lembaga-lembaga negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jadi, pemerintah tidak diartikan sebagai lembaga yang hanya menjalanan tugas eksekutif.
Berdasarkan definisi tentang sistem dan pemerintahan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah bagian-bagian yang  harus berfungsi dengan baik pula. Jika salah satu saja dari lembaga-lembaga pemerintahan itu. Membicarakan sistem pemerintahan berarti membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu demi kepentingan rakyat.

Pembahasan
Pembeda utama antara sistem parlementer dengan sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem parlementer yang memegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Perdana menteri dengan kabinet pemerintahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen. Dalam konstruksi demikian, wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada di tangan parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi parlemen sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi parlemen akan menganut sistem parlementer. Salah satu konsekuensinya adalah tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dengan eksekutif. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen (Efriza, 2009: 271). Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat (Dasril Radjab, 2005: 68).
Dengan demikian dalam jabatan presiden juga terdapat unsur sebagai perwakilan rakyat, terutama untuk menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden karena pada prinsipnya semua jabatan-jabatan itu berada dalam satu organisasi, yaitu lembaga kepresidenan.
Dengan demikian dapat disebutkan beberapa ciri dari sistem pemerintahan yang menggunakan sistem presidensil (Sri Soemantri dalam Dasril Radjab, 2005: 68), yakni:
a.    Sistem presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik.
b.    Dalam sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu (namun tidak lebur) dalam satu figur, Presiden.
c.    Kepala Negara (KN) dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh Presiden. KN adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan.
d.   Kekuasaan pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan adalah presiden.
e.    Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. (Presiden dipilih rakyat bukan dipilih partai). Selaku kepala negara, Presiden adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau fungsionaris partai.
f.     Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem presidensial tidak dikenal istilah kabinet koalisi. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai.
g.    Parlemen (legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama, menterjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melainkan pada upaya mempertajam program). Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi.
h.    Peran partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah” (Bambang Cipto, 1996: 41).
Ada beberapa negara yang menggunakan sistem presidensil, yakni Brazil, Afrika Selatan, Perancis, dan lain-lain. dapati dijelaskan secara singkat berikut ini.
-       Sistem pemeritahan Brazil
1.    Brazil merupakan negara dengan bentuk federal.
2.    Bentuk pemeritahan Brazil adalah republik dan sistem pemerintahannya adalah presidensial.
3.    Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
4.    Kabinet diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

-       Sistem pemerintahan Afrika selatan
1.    Afrika selatan menrapkan sistem politik demokrasi anti-apartheid.
2.    Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
3.    Sistem pemerintahan adalah presidensial.
4.    Parlemen terdiri dari dua bagian, yaitu majelis nasional dan dewan nasional provinsi.

-       Sistem pemerintahan Prancis
1.    Bentuk negara adalah kesatuan.
2.    Bentuk pemerintahan dalah republik dengan sistem demokrasi presidendsial.
3.    Presiden adalah kepdala negara, dan perdana meneteri adalah kepala pemerintahan.
4.    Kabinet diangkat oleh presiden.
5.    Sistem perlemen menggunakan sistem bimakeral yang tediri atas senat dan majelis nasional.
  
Penutup
Sebagai penutup dari paper ini dapat disimpulkan bahwa dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen. Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat. Ada beberapa negara yang dapat disebutkan disini yang menggunakan sistem presidensil, yakni Brazil, Afrika Selatan, Perancis.

Pustaka
Efriza, 2009. Ilmu Politik: dari Ilmu Politik sampai Sistem Pemerintahan (Ed 2). Bandung: Alfabeta.
Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

OTONOMI DAERAH

OTONOMI  DAERAH
OLEH: M. SETIAWAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan daerah (Michael Malley, 2001: 122-181) Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undangundang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia (Budi Agustono, 2005: 163).
Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari  masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan (Budi Agustono, 2005: 163).
Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku. Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.

1.2. Pokok Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.    Bagaimanakah perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi daerah dan pemekaran wilayah?
b.    Dampak apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?
c.    Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemekaran wilayah di negara Republik Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Otonomi daerah, peraturan, dan pelaksanaannya
a. Dasar hukum otonomi daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan pasal 18 ayat (6) UUD RI tahun 1945 yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut:
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

b. Pelaksanaan otonomi daerah di indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah (Budi Agustono, 2005: 164).
Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi (Budi Agustono, 2005: 164).
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusa belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (PERDA).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan (Budi Agustono, 2005: 169).
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga (Budi Agustono, 2005: 170).
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural (Kendra Clegg, 2005: 193).
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata (Kendra Clegg, 2005: 194).

2. Fenomena pemekaran wilayah
a. Dasar hukum pemekaran wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1).
Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut:
Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.17
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini:
a.    Kemampuan ekonomi.
b.    Potensi daerah.
c.    Sosial budaya.
d.   Sosial politik.
e.    Kependudukan.
f.     Luas daerah.
g.    Pertahanan.
h.    Keamanan.
i.      Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.



b. Pemekaran wilayah di Indonesia
Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang termasuk baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah setengah abad lebih usia negara ini, tahun 2000 lahir sebuah provinsi baru bernama Banten. Dahulu, wilayah Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000), pemerintah mengesahkan adanya provinsi baru itu pada 17 Oktober 2000. Selanjutnya, diikuti pula munculnya Provinsi Bangka Belitung dari Sumatera Selatan sebagai provinsi induknya, Provinsi Gorontalo (dari Sulawesi Utara), dan Kepulauan Riau (dari Riau) melalui undang-undang yang dibentuk pada tahun yang sama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, pemekaran provinsi terjadi di Maluku dan Papua.
Yang terbaru, seperti diketahui, sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan pada 4 Desember 2005 di Jakarta. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya. Menurut Tagore Abubakar, Ketua DPRD Bener Meriah yang menjadi tokoh pembentukan provinsi baru itu, pendirian wilayah baru tak dapat ditunda lagi meskipun belum didukung pemerintah pusat.
Pihaknya merasa pendapatan daerah yang dihasilkan tak sebanding dengan kesejahteraan warga di wilayahnya. Tidak maksimalnya perhatian Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh dianggap menjadi penyebab utama. Upaya mewujudkan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara sendiri sudah berlangsung lama. Rancangan undang-undang (RUU) pembentukannya pun sudah dibuat. Namun, RUU itu memang sama sekali belum disentuh DPR.
Restu dari Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf seperti yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pun belum mereka dapatkan (www.liputan6.com). Bahkan, dari sebuah penelitian, diketahui bahwa sebanyak 80,1% di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Karawang setuju terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Data ini diperoleh dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Publik Daerah (LP3D) pada 14 Januari sampai 24 Februari 2005. Dalam jajak pendapat tersebut, seribu responden dipilih secara acak untuk diminta menjawab sepuluh pertanyaan (www.tempointeraktif.com).
Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada responden, tiga di antaranya adalah sebagai berikut.
a.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
b.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan efektivitas koordinasi pemerintahan?
c.    Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan potensi pertambangan dalam peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)?
Berdasarkan hasil penelitian itu, pembentukan provinsi baru di wilayah tersebut dinilai sangat realistis dan sesuai dengan payung hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan syarat pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan. Dari kenyataan yang ada serta hasil dari berbagai penelitian seperti dicontohkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah, terutama pembentukan provinsi baru. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya, hal-hal tersebut adalah:
a.    kemampuan ekonomi;
b.    potensi daerah;
c.    sosial budaya;
d.   sosial politik;
e.    kependudukan;
f.     luas daerah;
g.    pertahanan;
h.    keamanan;
i.      dan faktor lain yang menunjang otonomi daerah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.    Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintahan daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran wilayah.
b.    Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
c.    Pemberlakuan sistem otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif.
d.   Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan sebagainya menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemekaran wilayah.

B. Saran
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan.





DAFTAR PUSTAKA
Dua Provinsi Baru di Aceh Dideklarasikan.” <www.liputan6.com/view/1,113592,1,0,1133,690100.html>. 7 Desember 2005.
Gunawan, Jamil. Ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal.Jakarta: LP3ES, 2005.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, No. 33 Tahun 2004, LN No. 126 tahun 2004, TLN No. 4438.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6 tahun 2005, LN No. 22 tahun 2005, TLN No. 4480.
Malley, Michael. “Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Editor Donald K. Emmerson. Jakarta: PT Gramedia, 2001. Hlm. 122-181.
“Poling: Publik Bogor, Bekasi, Karawang dan Depok Setuju Provinsi Baru.” <http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/09/brk,20050309-
50,id.html>. 9 Maret 2005.