Sabtu, 22 Oktober 2011

KEKUASAAN NEGARA


PAPER “KEKUASAAN NEGARA”
Oleh: M. Setiawan

Pendahuluan
Sifat kekuasaan negara
Dalam kenyataan terlihat bahwa negara mempunyai kekuasaan yang sifatnya lain daripada kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi yang terdapat dalam masyarakat seperti: perkumpulan olahraga, musik, dan lain-lain.
Kelainan sifat pada kekuasaan negara ini tampak dalam kekuasaannya untuk menangkap, menahan, mengadili, serta kemudian memasukkan orang ke dalam penjara, kekuasaan negara dengan kekerasan menyelesaikan sesuatu pemberontakan, kekuasaan negara untuk mengadakan milisi dan lain-lain.
Berhubung dengan adanya kekuasaan yang luar biasa itu tiimbul pertanyaan: Mengapa negara mempunyai kekuatan yang luar biasa itu, sedangkan perkumpulan biasa tidak? Pertanyaan ini dijawab oleh Max Webber dalam bukunya “Wirtschap and Gesellschaft”, menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena negara itu mempunyai “Monopolie tivan het physieke geweld” (Monopoli dalam menggunakan kekuasaan fisik).
Pertanyaan yang berikut timbul ialah: Mengapa negara mempunyai monopoli itu, siapa yang menghalalkannya? Persoalan ini menimbulkan Teori Penghalalan (Rechsvaardigings-theorie) yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnnya.

Pembahasan
Teori Teokrasi
1.    Bersifat langsung
Kekuasaan dikembalikan kepada raja dari Tuhan atau setidak-tidaknya kepada raja sebagai “Anak” dari Tuhan (Contoh: Tenko Heika Jepang sebelum kalah perang dunia II);
2.    Bersifat tidak langsung
Kekuasaan dikembalikan kepada Tuhan secara tidak langsung, yaitu melalui raja dengan seizin Tuhan, seperti Ratu Belanda yang memakai sebutan “Bij de Gratie God’s” (raja atas perkenan Tuhan).
Teori penghalalan ini disebut Teori Teokratis, karena ajaran ini disandarkan kepada Tuhan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Teori Kekuasaan
1.    Yang bersifat fisik; yakni yang kuatlah yang berkuasa (ajaran yang dianut oleh Machiavelli);
2.    Yang bersifat ekonomis: yakni bahwa yang kaya, yang ekonomisnya kuatlah yang berkuasa, seperti diajarkan oleh Karl Marx. Disebut dengan teori kekuasaan, karena sebagian besar dipakai power (kekuasaan).

Teori Yuridis (Teori Hukum)
1.    Yang bersifat patriarchaal;
kepala keluarga disebut pater familiars. Keluarga ini lambat laun menjadi keluarga besar; yang menjadi kepala adalah salah seorang di antara kepala-kepala keluarga kecil yang disebut “primus interpares”. Para anggota keluarga ini mengikatkan diri kepada teritorium tertentu, sehingga garis keturunan mereka menjadi kabur. Lalu timbullah masyarakat-masyarakat teritorial. Dalam perkembangan terus menerus daerah keluarga besar menjadi daerah negara dan kepalanya menjadi raja.
2.    Yang bersifat petrimonial (Patrimonium : Hak Milik)
Pada abad menengah hak milik atas sebidang tanah menimbulkan hak kewibawaan (gezagscreten), yakni hak untuk memerintah. Para pemilik tanah (leenheer) mempunyai hak milik (eigendom) atas tanah kemudian dipinjamkan pada para penyewa tanah (leenmannen).
Oleh karenanya leenmannen ini pun lalu mempunyai hak untuk memerintah yang disandarkan kepada hak milik atas tanah. Lambat laun pengertian hak milik lenyap sehingga tinggal kekuasaan raja saja.
Lembaga-lembaga patrimonial pada abad menengah di Eropa, dapat dijumpai di Indonesia pada tanah-tanah partikelir terdahulu, seperti di daerah Ciasem dan Cimanuk. Tuan tanah di Indonesia juga memiliki hak untuk memerintah yang berupa pengerahan tenaga rakyat, memungut pajak dan mengangkat kepala desa.
3.    Yang disebut teori perjanjian
Disebuut teori perjanjian dalam mencari penghalalan bagi kekuasaan negara, teori ini berdasarkan faham yang mengatakan bahwa negara itu terbentuk dengan diadakannya perjanjian antara semua individu.
Prof M.R. Krannenburg menyebutkan bahwa Teori Hukum Alam, karena teori ini berpangkal pada anggapan, bahwa pada mulanya manusia itu hidup dalam status naturalis dan baru terbentuknya negara maka status itu berubah menjadi status civilis.
Menurut teori perjanjian, kekuasaan negara dianggap halal karena berdasarkan asas “Pacta sunt servanda” yang berarti bahwa “Perjanjian itu mengikat”. Dengan demikian sandaran ini tidak berlaku lagi hukum adat di Indonesia, oleh karena untuk mengadakan suatu perjanjian diperlukan konsensus (kata sepakat) ditambah dengan konsentum (alat pengukuh janji yang berupa panjar uang atau barang).
Teori yang ketiga ini disebut dengan teori hukum, karena ajaran ini bermaksud memberikan sandaran hukum bagi kekuasaa negara agar dengan demikian power dapat dipandang sebagai hasil dari hukum. Oleh karenanya teori patriarchaal disandarkan pada Hukum Keluarga (Hukum Perdata Kitab II), teori patrimonial disandarkan pada Hukum Benda (Hukum Perdata Kitab II). Sedangkan teori perjanjian merupakan bagian dari Hukum Perikatan (Hukum Perdata Kitab III).

Penutup
Sebagai penutup dari penulisan paper ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam teori kekuasaan, yakni: a) teori teokrasi baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung; b) teori kekuasaan baik yang bersifat fisik maupun dari sisi ekonomi; c) teori yang disebut dengan teori yuridis (terbagi kepada tiga: bersifat patriarchaal, patrimonial, dan teori perjanjian).

Pustaka
Kansil, C.S.T. dan Kansil, Christine S.T. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini (ed.rev). Jakarta: Rineka Cipta.

RESUME BUKU GREEN CONSTITUTION


RESUME BUKU GREEN CONSTITUTION
DITULIS OLEH PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE

DIRESUME OLEH: M. SETIAWAN (MHS. PPS UMM PRODI ILMU HUKUM)

BAB I Wacana Konstitusi Hijau
            Wacana konstitusi hijau merupakan fenomena baru, karena beberapa alasan, yakni:
1.    Kurang aktifnya wawasan para ahli hukum;
2.    Pola pikir pikir positivist yang selalu berkutat pada kata-kata yang ada dalam Undang-undang saja; dan
3.    Perkembangan hukum internasional yang sangat signifikan.
Selain wacana konstitusi hijau, dalam dunia hukum juga dikenal dengan istilah ekokrasi yang merupakan perspektif hubungan antara pembangunan ekonomi dan ekologi.
Wacana green constitution plus ekokrasi dalam UUD RI Th 1945 bisa dilihat dalam Pasal 28H ayat (1) yang berbicara tentang sustainable development dan Pasal 33 ayat (4) yang berbicara tentang wawasan lingkungan.
Dari itu lahir Undang-undang No. 23 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No 23 Tahun 1987 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, PP No 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Layanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, PP No 40 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan UU Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian Negara Lingkungan Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, PP No 52 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

BAB II Konstitusi Hijau di Berbagai Negara
Di belahan dunia ada yang menentukan pengaturan lingkungan hidup dalam UUD-nya masing-masing dan masih banyak pula yang belum. Di antara yang sudah ada akan dibagi dalam beberapa kelompok, yakni: pertama, konstitusi yang memuat ketentuan spesifik mengenai perlindungan hidup (contoh: Konstitusi Spanyol), kedua, konstitusi yang mengintegrasikan ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam ketentuan mengenai hak asasi manusia (contoh: Konstitusi Polandia), ketiga, konstitusi yang hanya mengatur lingkungan hidup secara implisit atau menentukan jaminan hak-hak asasi tertentu dapat dipakai untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dalam praktik (contoh: UUD RI Tahun 1945), keempat, kelompok konstitusi yang mengaitkan garis-garis besar kebijakan dalam lingkungan tertentu dengan tugas atau tanggung jawab lembaga negara tertentu untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengatasi kerusakan alam (contoh: Konstitusi Portugal).
Dalam bentuk yang lebih konkrit yang berkaca kepada konstitusi belahan dunia, lingkungan hidup dapat dilindungi melalui: a. Proses peradilan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pencemar, yaitu melalui peradilan biasa, b. Mekanisme kontrol peradilan konstitusional atas kebijakan yang tertuang dalam undang-undang peraturan di bawahnya, c. Mekanisme kontrol peradilan atas tindakan-tindakan konkret dari penyelenggara negara yang mencemarkan dan merusak ekosistem.
Bentuk Lain dari perlindungan terhadap lingkungan diselenggarakan beberapa konvensi guna membuat wacana dan aksi perlindungan hidup, di antaranya United Nations Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia 5 Juni 1972 yang mana ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Internasional (World Environment Day). Sejak konferensi Stockholm inilah muncul dua aliran besar dalam paradigma pemikiran pembangunan, yaitu kaum developmentalist versus kaum environmentalist. Serta bermunculan berbagai konferensi lain guna membuat wacana terkini dalam perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Berkaca ke berbagai negara yang melakukan proteksi terhadap lingkungan serta ekosistem di dalamnya, bisa dilihat beberapa konstitusi. Di sini hanya akan dibicarakan beberapa konstitusi yang bercorak hijau, yakni: Konstitusi Portugal 1976, Konstitusi Spanyol 1978, Konstitusi Polandia 1992, Konstitusi Prancis 1958, dan Konstitusi Ekuador 2008.

Konstitusi Portugal 1976
Merupakan konstitusi yang lahir beriringan dengan sejarah lahirnya Republik Kedua di Portugal pada tahun 1974, di mana Republik Pertama pada tahun 1910. Maka ditetapkan pada tanggal 2 Juni 1976 melalui lembaga perwakilan rakyat, UUD yang dikenal sebutan Konstitusi 1976 (sebagai konstitusi hijau pertama di dunia).
Beberapa substansi yang ada dalam konstitusi 1976 adalah:
1.    Gagasan pembentukan peradilan konstitusi;
2.    Gagasan tentang perlindungan lingkungan hidup;
3.    Gagasan tentang hak dan kewajiban warga negara.
Contoh kutipan dalam konstitusi 1976, tepatnya dalam Artikel 66 yakni:
1.    Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan seimbang secara ekologis, dan berkewajiban untuk mempertahankannya.
2.    Adalah tugas negara untuk bertindak melalui badan-badan pemerintahan yang terkait dan dengan dukungan masyarakat untuk:
a.       Mencegah dan mengendalikan polusi atau pencemaran, akibat-akibatnya, dan bentuk-bentuk erosi yang membahayakan;
b.      Menata dan mempromosikan perencanaan regional guna menjamin aktivitas di lokasi yang tepat, perkembangan sosial dan ekonomi yang seimbang dan menghasilkan tata ruang yang secara biologis seimbang;
c.       Mengadakan dan mengembangkan cadangan kekayaan sumber daya alam, taman alam, dan daerah pariwisata, serta mengelompokkan dan melindungi tata ruang dan tempat-tempat lain guna menjamin konservasi alam dan pelestarian kekayaan budaya untuk kepentingan sejarah dan seni;
d.      Mempromosikan pemanfaatan sumber daya alam secara rasional, melindungi kapasitasnya untuk pemulihan dan stabilitas ekologis.

Konstitusi Spanyol
Konstitusi Spanyol mengalami banyak perubahan dimulai adanya Cadiz Constitution pada tahun 1812, The Glorious Revolution Constitution pada tahun 1869-1876, Constitution of The Second Republic pada tahun 1931-1939, The Fundamental Laws of Kingdom pada tahun 1938-1978, dan yang sampai sekarang digunakan adalah konstitusi yang disepakati oleh Cortes Generale dengan mendapat persetujuan dan disahkan oleh raja Juan Carlos pada tanggal 27 Desember 1978 dan disebut dengan konstitusi 1978.
Beberapa hal yang diatur di dalamnya adalah:
1.    Tentang social rights and duties;
2.    Tentang principles governing economy and social policy, di mana termasuk di dalamnya tentang environment berupa hak proteksi lingkungan hidup.
Substansi dari konstitusi 1978 sebagaimana di bawah ini:
a.    Setiap orang berhak untuk menikmati lingkungan yang cocok untuk perkembangan hidupnya berkewajiban melestarikannya sebagaimana mestinya.
b.    Penguasa umum atau pemerintahan melakukan pengawasan atas penggunaan sumber daya alam secara nasional untuk melindungi dan meningkatkan kualitas hidup serta melestarikan dan memulihkan kualitas lingkungan hidup dengan mengandalkan solidaritas sosial.
c.    Barangsiapa yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diancam dengan sanksi pidana atau sanksi administratif menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan diwajibkan memperbaiki kembali segala kerusakan itu sebagaimana mestinya.

Konstitusi Polandia
            Konstitusi Polandia sebagaimana Konstitusi Spanyol, juga mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa, dimulai dengan Artykuly Henkowsky / Henrican Articles pada tahun 1573, Little Constitution pada tahun 1915, March Constitution pada tahun 1921, April Constitution pada tahun 1935, The Constitution of The People’s Republic of Poland pada tahun 1952 dan diubah beberapa pasal di dalamnya pada tahun 1997. The Constitution of The People’s Republic of Poland inilah yang berlaku sampai saat ini di Polandia.
            Adapun yang berkaitan dengan lingkungan hidup, terdapat dalam Bab I Artikel 5 yang berbunyi:
“The Republic of Poland shall safeguard the independence and integrity of its territory and ensure the freedoms and rights of persons and citizens, the security of the citizens, safeguard the national heritage and shall ensure the protection of the natural environment persuans to the sustainable development”.
            Secara ringkas, ketentuan tersebut menyatakan bahwa Republik Polandia harus melindungi kemerdekaan dan integritas wilayah dan menjamin kebebasan dan hak-hak setiap warga negara, keamanan warga negara, menjaga warisan-warisan nasional dan harus menjamin perlindungan atas lingkungan alam sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Bahkan di Reublik Polandia sendiri sudah dikembangkan prinsip The Green Longs of Poland yang diimplementasikan melalui biro khusus yang disebut The Agreement Bureau tahun 1992, dan tema The Green Longs of Poland ini telah dipatenkan sebagai trademark milik negara.

Konstitusi Prancis
Konstitusi 1958 atau yang disebut Constitution of The Fifth Republic yang diprakarsai oleh Presiden Charles De Gaulle merupakan konstitusi yang berlaku di Prancis. Konstitusi ini pun banyak mengalami proses perubahan (bahkan 18 kali mengalami perubahan), terakhir perubahan pada Juni 2008.
Beberapa aturan yang ada dalam Constitution of The Fifth Republic adalah:
1.    Mengatur tentang kekuasaan presiden dan parlemen;
2.    Mengatur tentang pemilihan umum;
3.    Mengatur tentang organ/lembaga negara;
4.    Mengatur tentang human rights.
Pada tahun 2006 ditambahkan di dalamnya piagam lingkungan yang disejajarkan dengan declaration of human rights and the citizens tahun 1978, yang merupakan gagasan tentang lingkungan yang sehat dan menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Piagam lingkungan ini bertujuan untuk: (a) mengukuhkan prinsip-prinsip yang sudah diterima sebagai bagian dari hukum yang mengikat (to establish principles that are already part of the law), dan (b) mencakupkan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam hukum internasional (to include new principles that are present in international law).
Juga diatur di dalamnya prinsip precaution yang didesain untuk mengantisipasi dan merespon kekhwatiran yang timbul akibat possible harmful effect of technologies (kemungkinan akibat buruk dari penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi) yang mencemarkan atau membahayakan lingkungan hidup.

Dalam piagam misalnya dinyatakan:
The concern to protect the framework of human life may lead to ensuring that anyone who proposes a decision has undertaken an in-depth a priori analysis of all the implications, advantages and disadvantages of the latter, calling upon all the scientific and technical knowledge of the day. Such as rule could be understood as the principle of precaution. Unfortunately different way”.
            Maknanya, kepedulian untuk melindungi kerangkan kehidupan manusia menuntun arah agar setiap orang yang mengusulkan suatu keputusan harus memastikan bahwa keputusan itu diambil berdasarkan analisis yang mendalam terlebih dulu mengenai segala implikasi, keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul, dan telah didasarkan atas segala pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikenal saat itu. Ketentuan demikian itulah yang dapat difahami sebagai prinsip precaution, meskipun istilah ini terbuka untuk difahami dengan cara yang sama sekali berbeda.
            Di samping itu piagam juga memperkenalkan prinsip  polluter-payer. Hal ini bertujuan untuk memperkuat daya paksa agar para pencemar benar-benar memenuhi kewajibannya untuk membayar pengeluaran dalam rangka pencegahan atau pengurangan tingkat polusi yang disebabkan oleh mereka.
           
Konstitusi Ekuador
            Konstitusi Ekuador lahir pada tahun 2008, setelah mendapatkan persetujuan rakyat, dalam konstitusi ini dimuat akan hak alam sebagai subyek dalam kehidupan umat manusia. Sebagai contoh dapat dilihat dalam Artikel 2 yaitu:
“Nature has the right to an integral restoration. This integral restoration is independent of the obligation on natural and juridical persons or the state to indemnify the people and the collectives the depends on the natural systems. In the cases of severe or permanent environmental impact, including the ones caused by the exploitation on non renewable resources, the state will establish the most efficient mechanisms for the restoration, and will adopt the adequate measures to eliminate mitigate the harmfull environmental consequences”.
            Maknanya, alam berhak atas pemulihan atau restorasi yang bersifat integral yang terpisah dari kewajiban orang atau badan hukum atau negara untuk menjamin kerugian orang atau kelompok orang yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem. Dalam hal timbulnya dampak kerusakan alam yang permanen, termasuk yang disebabkan oleh eksploitasi atas sumber-sumber yang tidak dapat diperbarui (non-renewable resources), negara harus menentukan mekanisme yang paling efisien untuk restorasi. Untuk itu, negara harus menerapkan langkah-langkah yang tepat guna mengeliminasi atau mitigasi akibat-akibat buruk terhadap lingkungan hidup.
            Dalam konstitusi ini ditentukan bahwa masyarakat dan lingkungan alam mempunyai hak-hak dasar yang tidak dapat dihilangkan (unaliable right) yang tumbuh dan berkembang di Ekuador. Hak-hak itu bersifat self-executing berlaku dengan sendirinya, dan adalah hak dan tanggung jawab pemerintah Ekuador, masyarakar dan setiap individu warga negara Ekuador untuk menegakkannya.

Bab III Undang Undang Dasar RI Tahun 1945 dan Lingkungan Hidup
            Penegasan mengenai kesadaran lingkungan hidup dalam UUD RI tahun 1945 terdapat pada Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4), yang berbunyi:
Pasal 28H ayat (1):
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
            Pasal 33 ayat (4):
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
            Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori hak asasi manusia tersebut. Sebagai hak setiap orang, tentunya secara bertimbal-balik pula mewajibkan setiap orang untuk menghormati hak orang lain sehubungan dengan lingkungan yang baik dan sehat itu. Oleh karena itu, di satu segi setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tetapi di pihak lain setiap orang juga berkewajiban untuk menjaga dan menghormati hak orang lain untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat itu. Demikian pula negara, di samping dibebani kewajiban untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga berhak menuntut setiap orang untuk menghormati hak orang lain, dan apabila perlu memaksa setiap orang untuk tidak merusak dan mencemarkan lingkungan hidup untuk kepentingan bersama.
            Di samping itu, Pasal 33 ayat (3) UUD RI tahun 1945 menentukan pula bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.             Dari rumusan beberapa pasal konstitusi ini mengandung dua konsep besar, yakni berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.
            Ada satu pertanyaan, bagaimana kita memahami perkembangan bahwa adanya hak yang dimiliki oleh alam, sungai, hutan, udara yang harus diperhitungkan dalam lalu lintas hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan beberapa teori kedaulatan di bawah ini.
1.    Teori kedaulatan Tuhan, bahwa Tuhan-lah yang dianggap segalanya dan sumber kekuasaan yang sebenar-benarnya. Rumusan kata Tuhan dalam UUD RI 1945 terdapat dua kali, yakni dalam preambule Alinea ketiga dan keempat, serta yang ketiga dalam rumusan bunyi sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 9 ayat (1) UUD RI 1945.
Secara prinsipil, bahwa kedaulatan Tuhan ada dua konsep, yakni: pertama, konsep Kemaha-esa-an Tuhan yang bermakna bahwa Tuhan itu hanya satu, kedua, konsep Kemaha-kuasa-an Tuhan yang bermakna bahwa Tuhan itu kuasa dan manusia sama di hadapan Tuhan serta dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaga serta melestarikan lingkungan hidupnya.
Konsep kedaulatan Tuhan dalam UUD RI 1945 tidak dijelmakan dalam kedaulatan negara sebagaimana ajaran teokrasi klasik, akan tetapi diwujudkan dalam faham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, dengan kolaborasi inilah disebut sebagai teokrasi gaya baru, yakni teokrasi zaman modern.

2.    Teori kedaulatan raja, bahwa raja-lah yang merupakan puncak dari segala sistem kekuasaan, bahwa raja merupakan pencerminan dari kekuasaan Tuhan. Secara umum dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia tidak mengenal sistem raja sebagaimana sudah ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik”.
Namun bilamana ditelaah hanya pada daerah Yogyakarta yang masih dikenal sistem kerajaan sebagaimana termuat dalam Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan Undang-undang”.

3.    Teori kedaulatan hukum, bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara/bangsa adalah hukum. Atau yang biasa disebut dengan The Rule of Law (bahasa AV. Dicey). Hal ini tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

4.    Ajaran kedaulatan rakyat, bahwa kekuasaan negara bersumber dari rakyat dan dilakukan sendiri oleh rakyat. Hal ini tercantum sebagaimana diatur dalam Alinea keempat Pembukaan UUD RI 1945 yang berbunyi:
“... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada ... dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan...”.
Makna yang terkandung di dalamnya merupakan pemahaman kedaulatan rakyat secara politik. Dalam UUD RI 1945 tidak hanya bermakna secara politik, pula bersifat ekonomi dan sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat 4 UUD RI 1945.

5.    Teori kedaulatan negara, hal ini mencakup dua pengertian, yakni (a) internal, merupakan kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi adalah negara, (b) eksternal, merupakan konsep kedaulatan yang difahami dalam perspektif hubungan antar negara. Sebagaimana termuat dalam Alinea I UUD RI 1945 yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

6.    Teori kedaulatan lingkungan, merupakan konsep kekuasaan yang dimiliki lingkungan dan ekosistem. Hubungan antara manusia dan alam menurut Van Peursen ada tiga tahapan, yakni:
a.       Tahap mitis, bahwa manusia menggantungkan hidupnya secara penuh kepada alam sekitar. Baik untuk pakaian, makan, minum, maupun tempat tidur selalu tergantung pada alam.
b.      Tahap fungsional, bahwa paradigma berfikir manusia harus berubah dari alam pikiran anthroppocentris ke alam pikiran theocentrisme, guna mendapatkan keseimbangan antara manusia dan alam yang selalu dihubungan dengan adanya Tuhan.
c.       Tahap ontologis, bahwa manusia selalu menghargai dan memberikan penilaian yang berharga kepada lingkungan dan ekosisitem di dalamnya.
Kedaulatan lingkungan mempunyai arti bahwa pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak-hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui memiliki kedaulatannya sendiri. Oleh karena itu, di samping rakyat sebagai manusia yang berdaulat, begitu pula alam juga berdaulat.

Bab IV Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
            Makna berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan konsep sustainable development. Yakni gerakan pemeliharaan, pelestarian, perlindungan lingkungan hidup yang sehat. Istilah sustainable development pertama kali diperkenalkan oleh Rachel Carson pada tahun 1962. Konsep ini merupakan langkah untuk pemenuhan kebutuhan masa kini tanpa merugikan generasi mendatang.
            Istilah lain yang juga biasa dipakai dan berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pro-environment.
            Makna pembangunan berkelanjutan versi Bcuntland Report adalah: “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Dari rumusan ini dapat difahami adanya dua elemen pokok, yakni: pertama, konsep kebutuhan generasai masa kini dan akan datang untuk hidup sejahtera, terutama kebutuhan hidup bagi orang-orang miskin dan komunitas-komunitas tertinggal yang harus mendapat prioritas utama dalam pembangunan. Kedua, konsep pembatasan terhadap pemaksaan yang dilakukan oleh negara, korporasi, ataupun masyarakat atas kemampuan lingkungan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sekarang dan masa yang akan datang.
            Sebagai negeri dengan penduduk terbesar keempat di dunia, sejak lama Indonesia menganggap penting dan menempatkan aspek pengelolaan penduduk pada titik pusat perhatian dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia mengajarkan agar setiap manusia Indonesia hidup dalam keseimbangan hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan sosial, maupun lingkungan ciptaan manusia (non-made environment).      Dalam pengertian wawasan lingkungan yang demikian, lingkungan hidup tidak hanya dipandang sebagai suplemen dalam kebijakan pembangunan.
            Bahkan lebih jauh lagi, kesadaran kita mengenai pentingnya lingkungan hidup dapat dilihat dari dua segi, yaitu perspektif internal dan eksternal. Dalam perspektif internal, wawasan lingkungan itu menempatkan faktor lingkungan ke dalam substansi pemikiran tentang pembangunan, yaitu menyangkut the crux of the problem os sustainbel development. Adapun dari segi eksternal, isu lingkungan itu tidak hanya dilihat secara terbatas pada aspek lingkungan hidup di sekitar kita, atau salah satu aspek atau sektor dalam proses pembangunan, tetapi juga sebagai sistem kehidupan secara menyeluruh. Dengan perkataan lain persoalan lingkungan hidup tidak hanya dilihat sebagai persoalan enviromentalist tetapi juga ecologicalism.

Sabtu, 01 Oktober 2011

KONSEKUENSI PENGAKUAN KEDAULATAN RAKYAT, KEDAULATAN HUKUM, DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM UUD RI TAHUN 1945 PADA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


Penulis: M. Setiawan, SHi., SH

Pendahuluan
1
 
Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom), tanpa intervensi negara mana pun. Indonesia melalui konstitusi yang sudah ada sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, selalu membicarakan kedaulatan, baik kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, maupun kedaulatan negara. Dalam catatan sejarah Indonesia mengalamai berbagai level sebuah kedaulatan[1], pernah mengalami masa di mana praktek kenegaraan digoncang habis-habisan hingga hampir luluh lantah oleh penjajah Belanda, hingga harus mengikutkan diri dalam konsep penjajah pada tahun 1949 menjadi negara federal. Namun semangat juang rakyat pada saat itu demi memperjuangkan kemerdekaan, maka 7 bulan setelah itu dikembalikan bentuk negara menjadi negara kesatuan, bhineka tunggal ika.[2]
Integrasi bangsa untuk menuju ke arah kemerdekaan bukan merupakan hasil rekayasa dan bantuan serta rasa ‘iba’ dari penajajah, namun merupakan bentuk perjuangan yang menganggap kemerdekaan dan kebebasan rakyat dan bangsa adalah hak paling esensial dan fundamental bagi umat manusia. Posisinya sederajat dengan nilai-nilai universal lainnya seperti kemanusian (humanisme) dan keadilan. Hak tersebut juga berlaku bagi bangsa Indonesia, namun karena sering dilanggar bangsa lain, bangsa Indonesia harus berjuang keras mewujudkan hak tersebut. Keberhasilan mewujudkan hak kebebasan dan kemerdekaan ditandai oleh pernyataan kemerdekaan.[3]
Karena misi utama perjuangan kemerdekaan adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai kebebasan bagi rakyat dan bangsa, maka negara yang telah diperjuangkan itu seharusnya berkomitmen mewujudkan nilai-nilai tersebut. Karena itu, mengutip alinea kedua Pembukaan UUD 1945 : “...negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur” harus dijaga dan dilestarikan terus menerus. Sudah menjadi kewajiban negara Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 untuk selalu menjaga kemerdekaan dan kebebasannya. Kemerdekaan memiliki makna bila bangsa ini mandiri dan menentukan sikap dalam mengejar tujuan-tujuan  negara. Kemandirian bangsa atau ‘berdaulat’ sebagai terjemahan makna kemerdekaan, adalah pesan penting yang harus selalu ditanamkan dan ditegakkan, khususnya dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia.[4]
Untuk itu dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai konsekuensi[5] pengakuan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia, hal yang dibahas di dalam makalah ini berupa permasalahan berikut:
1.    Apa landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia?
2.    Siapa yang memegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia?
3.    Bagaimana praktek ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam hal pemerintahan?
Pembahasan
A.  Landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia
Secara ringkas dapat disebutkan dalam bentuk tabel di bawah ini terkait Landasan dari kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam UUD RI Tahun 1945 pada negara kesatuan Republik Indonesia, yakni:
Kedaulatan Negara
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Hukum
Terdapat pada alinea ke-2 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada alinea ke-3 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada alinea ke-4 pembukaan UUD RI 1945
Terdapat pada Pasal 1 (3)
Terdapat pada Pasal 1 (2)
Terdapat pada Pasal 1 (3)

Bahwa kedaulatan negara bisa dilihat dalam alinea ke-2 pembukaan UUD RI Tahun 1945, sebagaimana dinyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Penulis mengambil ketentuan dari alinea kedua UUD RI Tahun 1945, bahwa ada kalimat “negara Indonesia yang merdeka...”. Di sini dapat dikatakan bahwa kedaulatan menjadi cita-cita bangsa untuk tidak diatur dan dikuasai oleh negara lain. Karena makna dari kedaulatan negara merupakan Kedaulatan yang asalnya dari negara itu sendiri yakni dalam wilayah suatu negara hanya negara itu yang berdaulat penuh. Negara mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Artinya negara berhak mengatur semua warga negara dan harus taat, patuh terhadap kehendak dan keinginan Negara. Tidak ada seorang yang berhak menentang kehendak negara. Sehingga kekuasaan negara tidak ada yang membatasinya. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi yang berasal dari negara itu sendiri.[6]
Dan juga diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang dinyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Di sini bahwa Indonesia selain memiliki kedaulatan sebagai negara, juga memiliki kedaulatan berdasarkan hukum yang berlaku di dalamnya. Artinya bangsa manapun yang ingin masuk ke Indonesia harus mematuhi segala aturan yang berlaku di dalamnya. Sebagai contoh adalah WNA yang ingin menjadi WNI harus tunduk dan patuh dalam aturan main bangsa Indonesia.[7]
Bahwa kedaulatan rakyat bisa dilihat dalam alinea ketiga pembukaan UUD RI Tahun 1945, sebagaimana dinyatakan: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kebebasan dan kemerdekaan rakyat menjadi hal yang penting guna menuju arah kesejahteraan rakyat sendiri. Karena konsep kedaulatan rakyat artinya kekusaan tertinggi di tangan rakyat.[8] Rakyat memberikan kekuasaan kepada para wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti pemerintahan yang dipilih dan diangkatnya[9] bila pemerintah tersebut tidak melaksanakan kehendak rakyat. Dewasa ini praktik teori kedaulatan rakyat banyak dianut dan dijalankan oleh negara-negara demokrasi modern. Termasuk negara Republik Indonesia.[10]
Dan juga diatur dalam pada Pasal 1 (2) UUD RI yang dinyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam hal ini dapat digarisbawahi bahwa di Indonesia, rakyat merupakan pemilik kekuasaan sesungguhnya. Karena fakta yang terjadi sebagaimana dicontohkan dalam praktek ketatanegaraan bahwa pada Tahun 1998 terjadi reformasi yang mengatasnamakan rakyat untuk memperjuangkan dan menjatuhkan pemerintahan yang otoriter.[11]
Kedaulatan yang juga menjadi landasaan idiil dari konstitusi di Indonesia adalah kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum yaitu kedaulatan yang berasal dari hukum yang berlaku di suatu negara. Hukum yaitu pernyataan yang timbul dari kesadaran manusia, dan hukum merupakan sumber kedaulatan. Negara harus mematuhi tertib hukum, karena hukum terletak di atas negara. Hukum merupakan kekuasaan yang derajatnya lebih tinggi. Negara hanya sebagai organisasi sosial yang tunduk kepada hukum. Kekuasaan negara harus berpijak dan berlandaskan hukum (asas legalitas[12]). Hukum harus dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan dalam negara maksudnya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah itu didapat atau diatur oleh hukum yang berlaku di negara itu, sehingga kekuasaan itu sah berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum harus dijunjung tinggi oleh segenap warga negara dan pemerintah, maka semuanya harus menghormati dan mematuhi hukum yang berlaku. Barang siapa yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi, tanpa kecuali.[13]
Kedaulatan hukum bisa dilihat dalam alinea keempat UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”, dan juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
B.  Pememegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia
Secara ringkas dapat disebutkan dalam bentuk tabel di bawah ini terkait pememegang kedaulatan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni:
Kedaulatan Negara
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan Hukum
Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 (1), 10, 11 (1-2), 12, 13 (1), 17 (1-2), 20 (2-3), 22E (1), 25A, 24A (3), 24C (3), 30 (1), 32 (1-2), 33 (2-3), 35, 36A, 36B, 36C, 37 (5).
MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 3 (1), 7A, serta Pasal 37 (1-4).
MA sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (1), 15 (1) 24 (2), 24A (1).

Rakyat pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 6A (1), 23 (1), 28A – 29 (2),  31 (1-5), serta Pasal 33 (1 dan 4).
KY sebagaimana diatur dalam Pasal 24B (1)

DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C, 11 (1-2), 13 (2), 14 (2), 18A (1), 20 (1), 20A (3), 22, (2-3), 23 (1), 23 (2-3), 24A (3), dan Pasal 24 (3).
MK sebagaimana diatur dalam Pasal 24C (1-3)

Konsep modern tentang kedaulatan, pertama kali mengemuka pada akhir abad ke enam belas, sebagai tanggapan atas fenomena kemunculan negara teritorial. Gagasan teoritik tentang kedaulatan pada mulanya dikemukakan oleh Jean Bodin, salah seorang pemikir renaissance asal Prancis, pada 1576, melalui karangannya, “Les Six Livres de la Republique.” Bodin menafsirkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat- rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang. Dari penafsiran terlihat jelas, bahwa kemunculan konsepsi kedaulatan adalah berangkat dari fakta politik yang mendasar saat itu, yaitu lahirnya negara. Tentang negara, Bodin banyak merujuk pendapat Aristoteles, ia memaknai negara sebagai keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal budi seorang penguasa yang berdaulat. Negara berbeda dengan masyarakat lainnya, karena adanya summa potestas (kekuasaan tertinggi). Menurut Bodin, salah satu aspek kedaulatan ialah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, karenanya Bodin kemudian menyamakan antara undang-undang dengan hukum. Pemikiran Bodin ini selanjutnya diperkuat oleh Thomas Hobbes.[14]
Melihat ketatanegaraan di Indonesia, kedaulatan yang ada dalam konstitusi yakni ada tiga: 1. Kedaulatan negara yang dipegang oleh Presiden sebagai simbol dari negara; 2. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR, DPR, rakyat pada umumnya; serta 3. Kedaulatan hukum pada prakteknya dipegang oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 4 (1) UUD RI Tahun 1945 mengurusi urusan kedaulatan negara keluar. Bahwa presiden melalui seluruh kekuasaannya di bidang Angkatan Darat, Laut, dan Udara (Pasal 10) berkewajiban menjaga wilayah negara (Pasal 25A), juga memiliki kewenangan untuk menyatakan perang dengan negara lain (Pasal 11 ayat 1),  membuat perjanjian internasional (Pasal 11 ayat 2), serta memiliki kewenangan dalam pengangkatan duta dan konsul (Pasal 13 ayat 1).
Kedaulatan negara dikokohkan dengan kedaulatan rakyat yang dalam konstitusi diatur adanya lembaga perwakilan seperti MPR dan juga di dalamnya termasuk DPR. Bahwa MPR berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD RI (konstitusi), artinya secara kelembagaan rakyat-lah yang berwenang dalam pengurusan kenegaraan. Bilamana rakyat sudah tidak menginginkan konstitusi yang sedang berlaku sesuai kondisi seperti tahun 1950 peralihan dari negara federal menjadi negara kesatuan, maka perubahan menjadi pilihan yang final.
Berbicara kondisi paska amandemen UUD RI Tahun 1945, bahwa rakyat pemegang kekuaasan dalam negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang dinyatakan: “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Jadi percaturan ketatanegaraan dipegang oleh rakyat melalui perwakilannya di MPR dan DPR.[15]
Selanjutnya kedaulatan hukum yang dalam konstitusi sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang hukum di Indonesia adalah Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1), 24B ayat (1), dan Pasal 24C ayat (1) UUD RI Tahun 1945.
Artinya di sini bahwa hukum secara kelembagaan ada pemegang kekuasaannya, agar tidak terjadi kekosongan dan bisa terjadi kewenangan mutlak dari lembaga lain yang secara teori demokrasi harus dilakukan pemisahan/pembagian kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

C.  Praktek ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan negara dalam hal sistem presidensiil
Pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar presidensiil. Hal ini dapat teridentifikasi dengan mudah setelah Presiden dan Wakil presiden dipilih langsung oleh Rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil adalah baik eksekutif maupun legislatif dipilih langsung oleh rakyat dan antara keduanya tidak ada hubungan pertanggungjawaban. Dan hal ini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dimanifestasikan dalam praktek ketatanegaran Indonesia.
Ciri utama yang lain dari sistem pemerintahan Presidensiil adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, melainkan langsung kepada rakyat pemilih, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui badan pemilih (electoral college) seperti di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan sistem pemerintahan ini, amandemen UUD 1945 sudah cukup baik mengadopsi ciri-ciri sistem pemerintah Presidensiil yang semakin menguat jaring-jaringnya yang akan menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditandai dengan adanya klausula pemilihan Presiden (dan Wapres) secara langsung oleh rakyat. Presiden tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Apapun perbedaan pandangan antara Presiden dan MPR, Presiden akan tetap sampai habis masa jabatannya. Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adalah melalui pranata “impeachment”. Tetapi dasar “impeachment” itu terbatas, baik secara substansial maupun prosedural tidak mudah dilaksanakan. Impeachment hanya dapat dilakukan apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah cukup baik menentukan jaring-jaring yang menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk kemungkinan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah dilakukan. Menurut analisa penulis bahwa stabilitas penyelenggaraan pemerintahan serta lebih membuat jalan yang tidak mudah dalam impeachment merupakan salah satu ciri dari kedaulatan negara. Hal ini karena beberapa hal, yakni:
1.    Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilihnya;
2.    Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara merupakan simbol dari tegak dan bangunnya sebuah pemerintahan;
3.    Bahwa paska amandemen UUD RI Tahun 1945 tidak ada lagi lembaga tertinggi negara (dulu MPR) yang bisa dengan mudah memberhentikan presiden. Yang ada adalah lembag tinggi negara, semua lembaga negara dalam prinsip check and balances.
Menurut I Gde Pantja Astawa (2004), masih sangat disayangkan bila mekanisme ataupun prosedur impeachment untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya yang apabila memenuhi ketentuan pasal 7A, menjadi lain bila dihadapkan dengan ketentuan pasal 7B, terutama pada ayat (7) perubahan ketiga UUD 1945. Artinya, jika oleh Mahkamah konstitusi diputuskan bahwa Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A, apa reasoning-nya kemudian MPR (masih) memberi kesempatan kepada Presiden untuk menyampaikan penyelasan dalam rapat paripurna MPR. Jika itu yang terjadi, ada kemungkinan Presiden tidak diberhentikan oleh MPR meskipin Mahkamah Konstitusi sudah (jelas-jelas) memutuskan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A. Memang MPR adalah institusi/badan politik yang memiliki wewenang untuk memberhentikan ataupun tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Sebagai badan politik, tentu saja pertimbangan-pertimbangan MPR dalam mengambil keputusan (memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya) lebih diwarnai oleh nuansa politis, sungguhpun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan presiden bersalah secara hukum. Persoalannya kemudian bukan terletak pada keberadaan MPR itu sebagai institusi politik, melainkan lebih terletak pada komitmen MPR itu sendiri untuk menghormati proses hukum sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dalam kerangka supremasi hukum. Dalam konteks ini, tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7A. Sebab, jika tidak, untuk apa dan apa gunanya Presiden diusulkan untuk diadili ke Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan apa pula gunanya putusan MK yang menyatakan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasa 7A bila MPR kemudian tidak memberhentikan Presiden dengan alasan dan pertimbangan politik? Hak itu sama saja hendak menegaskan bahwa hukum (akan selalu) tunduk pada kekuasan dan bukan sebaliknya sebagai perwujudan prinsip supremasi Hukum di Indonesia. Hal ini karena supremasi hukum merupakan manifetasi dari kedaulatan hukum yang mengharuskan negara untuk mematuhi tertib hukum, karena hukum terletak di atas negara. Hukum merupakan kekuasaan yang derajatnya lebih tinggi. Negara hanya sebagai organisasi sosial yang tunduk kepada hukum, dan kekuasaan negara harus berpijak dan berlandaskan hukum.

Penutup
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis memberikan beberapa kesimpulan, yakni:
1.    Bahwa UUD RI merupakan aturan tertinggi dalam ketatangeraan Indonesia, mencakup di dalamnya tiga jenis kedaulatan yang menyatu seperti kedaulatan negara dalam alinea kedua pembukaan serta Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945, kedaulatan rakyat yang diatur dalam alinea ketiga serta Pasal 1 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, dan Kedaulatan hukum yang diatur dalam alinea keempat pembukaan serta Pasal 1 ayat (2) UUD RI Tahun 1945.
2.    Bahwa pemegang kekuasaan di Negara Indonesia dibagi menjadi 3 yakni kekuasaan dalam hal kenegaraan dipegang oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang mempunyai fungsi legislatif, serta MA dan MK yang merupakan perwujudan secara kelembagaan dari kedaulatan hukum, yang merupakan pemegang kekuasaan yudikatif.
3.    Bahwa pasca amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar presidensiil dan tidak mudah untuk diimpeachment/diberhentikan bilamana belum mencukupi syarat dalam Pasal 7A, sebaliknya bila mencukup syarat maka presiden dapat diberhentikan yang artinya bahwa kedaulatan negara masih tunduk kepada kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.








Pustaka
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945: yang Sudah diamandemen. Surabaya: Appolo.
Ali, As’ad Said . 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Molejatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Purnomo, Bambang. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Schmid, J. Von. 1962. Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum. Jakarta: PT. Pembangunan.
Setyani, Turita Indah. 2009. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa. Dalam www.staff.ui.ac.id. 

Website:
www.id.answers.yahoo.com. Akses 14 Juli 2011.
www.wahyudidjafar.wordpress.com. Akses 14 juli 2011.



[1] Istilah kedaulatan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat-rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang.. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus. Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkataan sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan Souvereneteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. Jadi secara umum, kedaulatan atau sovereignity itu diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai wewenang untuk mengatur penyelenggaraan negara. Lihat J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hal. 140-143.
[2] Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular: Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,  bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.
Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa). Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat ―Berbeda-beda tetapi tetap satu‖. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. Lihat Turita Indah Setyani, Bhinneka Tunggal Ika sebagai  Pembentuk Jati Diri Bangsa. Dalam www.staff.ui.ac.id. (2009: 2-3).
[3] Lihat As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009). hal. 103.
[4] Ibid, hal. 103.
[5] Konsekuensi adalah akibat akhir dari sebuah pengambilan keputusan, dengan beberapa ketentuan tertentu, seperti akibat buruk/ baik berdampak pada apa, siapa, kelanjutannya bagaimana yang bersifat kompleks (menyeluruh). Lihat www.id.answers.yahoo.com. Akses 14 Juli 2011.
[6] Lihat http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[7] Lihat Pasal 26 ayat (1) UUD RI tahun 1945.
[8] Rakyat (Inggris:Peoples) adalah bagian dari suatu negara atau elemen penting dari suatu pemerintahan. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi sama dan tinggal di daerah/pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu untuk membela negaranya bila diperlukan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Rakyat. Akses 14 Juli 2011.
[9] Lihat Pasal 22 E ayat (2) UUD RI tahun 1945.
[10] Op. Cit. http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[11] Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia. Akses 14 Juli 2011.
[12] Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Lihat Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 25. Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian: 1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang. 2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:. Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760). Lihat Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 68-69.
[13] Op. Cit. http://www.e-dukasi.net/index. akses 13 Juli 2011.
[14] Lihat http://wahyudidjafar.wordpress.com. Akses 14 juli 2011.
[15] Lihat Pasal 2 ayat (1) UUD RI Tahun 1945.